Rabu, 31 Oktober 2018

UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 Diberikan Karena Tuntutan Papua Merdeka

Buletinnusa
UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 Diberikan Karena Tuntutan Papua Merdeka
"....Bukan Diberikan demo Kesejahteraan Orang Papua!
Oleh Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Pemerintah Indonesia, rakyat West Papua dan komunitas Internasional harus JUJUR mengakui topik artikel ini. Kita jangan membuat kabur roh dari latar belakang mengapa Otonomi Khusus 2001 ada di West Papua? Para penguasa Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua berusaha dengan berbagai bentuk siasat untuk mereduksi esensi dari background lahirnya Otsus di West Papua.

Lihat dari komentar Hj. Muh. Jusuf Kalla, ” masalah Papua adalah masalah kejahteraan” (Sumber: TVOne, 8 November 2017).

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah M.Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar NU, Said Agil Siroj menyatakan: “akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terutama dalam kesejahteraan ekonomi…” (Sumber: Kompas, Jumat, 11 November 2011).

Kata “kesejahteraan” itu mitos lama yang terus diulang-ulang dan dikumandangkan dalam berbagai forum dan kesempatan untuk menutupi dan menghilangkan akar persoalan bangsa Papua yang sesungguhnya, yaitu status politik.

Pemerintah Indonesia pernah berjanji kepada peserta pepera 1969 pada 14 Juli 1969 di Merauke. Menteri Dalam Negeri Indonesia berjanji:

“….Pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Indonesia” (Sumber: Laporan resmi PBB: 19 November 1969, paragraf 18,hal.2).

Kalimat ….pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat…” sejak dari janji ini, kita bandingkan dengan keadaan rakyat dan bangsa Papua sangat paradoks.

2. Background Lahirnya Otsus

Otonomi Khusus 2001 ialah alat bargainning/tawar-menawar politik bukan pembangunan atau kesejahteraan. Pada 1998 seluruh rakyat dan bangsa Papua dari Sorong-Merauke bangkit dan menyatakan Merdeka dan keluar dari Indonesia.

2.1. Pepera 1969 Cacat Hukum, Moral & Tidak Demokratis
John RG Djopari dalam bukunya Pemberontak Organisasi Papua Merdeka:
“Sebelum Pepera diselenggarakan, pada 12 Februari 1969 di Jayapura diselenggarakan suatu demonstrasi masyarakat yang secara tertib menuju ke kediaman Ortiz Sanz dengan menyerahkan sebuah resolusi untuk menuntuk penyelenggaran pemilihan pada tahun 1969 tidak secara musyawarah tetapi menurut ketentuan perjanjian New York yaitu dengan cara one man one vote atau setiap orang datang dan memberikan suaranya. Juga resolusi yang disampaikan menyampaikan keinginan rakyat Irian Barat untuk merdeka sendiri sesuai dengan janji Belanda dan menyampaikan protes terhadap tindakan dari aparat atau tentara Indonesia yang melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh Irian Barat serta pengikutnya dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi serta bertentangan dengan hak asasi manusia” (Djopari: 1993: hal. 76).
Christofelt Leendezt Korua purnawirawan polisi sebagai saksi mata: ” orang-orang Papua yang memberikan suara dalam Pepera 1969 itu ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia” (Wawancara Penulis 11 Desember 2002: Baca dalam buku: Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM: Yoman: 2005, hal. 73).

Akademisi dan sejarawan Inggris, Dr. John Saltford dalam penelitiannya menemukan fakta-fakta perlawanan bangsa Papua kepada Indonesia sebelum Pepera 1969 yang tersimpan dalam arsip PBB.

“Dalam arsip PBB di New York, secara rinci 156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969. Dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti-Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral.” - (Sumber: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: Series 100, Bix 1, File 5).

2.2. Tim 100 di Istana Firaun Moderen Indonesia
Pada 26 Februari 2009 Tim 100 mewakili bangsa Papua secara bermartabat dan terhormat menyampaikan kepada Prof. Dr. B.J. Habibie, Presiden Republik Indonesia di Istana Firaun Moderen Indonesia:

” Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara mereka diantara bangsa-bangsa di muka bumi…..Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

“Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 Diberikan Karena Tuntutan Papua Merdeka
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh diantara bangsa-bangsa lain di bumi.”

Kedua….( Silahkan Baca Selengkapnya dalam buku: Otonomi Khusus Papua Telah Gagal: Yoman, 2012, hal. 30). Buku ini dijual di TB Ondewerek Jln. TABI-Bhayangkara-Kotaraja (Samping Kantor Kelurahan Wahno).

2.3. Musyawarah Besar (MUBES) Papua pada 2000
Rakyat dan bangsa Papua dalam Mubes pada 23-26 Februari 2000 merumuskan dan menyatakan pada point 3.2.

” Pemerintah Indonesia melaksanakan act of self dertemination yang disebut pepera dengan cara meniadakan hak-hak dan kebebasan politik rakyat Papua, dengan mengintimidasi dan membunuh rakyat Papua yang menentang cara-cara Indonesia dalam melaksanakan pepera yang tidak sesuai dengan jiwa New York Agreement 15 Agustus 1962″ ( selangkapnya baca dalam buku: Otonomi Khusus Papua Telah Gagal, hal. 32-34).

Perjuangan West Papua Merdeka tidak berhenti pada Tim 100 dan Mubes.

2.4. Kongres Nasional II
Rakyat dan bangsa Papua dalam memperjuangkan hak politiknya diadakan Kongres Nasional II pada 26 Mei – 4 Juni 2000.

Dalam Kongres Nasional II sampaikan beberap pernyataan politik:

1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.

2. Bangsa Papua ……(selanjutnya lebih lengkap dibaca dalam buku: Otonomi Khusus Papua Telah Gagal, hal. 34-38).
3. Kesimpulan

Otonomi Khusus No.21 Tahun 2001 adalah alat tawar politik Papua Merdeka dengan Indonesia. Otsus tidak dirancang karena kesejahteraan dan masalah perut, makan dan minum.

Karena itu, para sarjana dan intelektual bangsa Papua JANGAN kaburkan Akar Masalah bangsa Papua dengan pernyataan yang tidak jelas. Para sarjana sebaiknya kawal masalah mendasar ini.

Tokoh senior dan kenamaan milik rakyat dan bangsa Papua, Freddy Numbery dalam Opini dengan topik: Satu Dasawarsa Otsus Papua pernah dengan sempurna menyatakan:

“Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung dimana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terberlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah diterapkan Jakarta, tapi tak bertaji menyelesaikan masalah.” (Sumber: Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6).

Jadi, status politik/sejarah digabungkan West Papua ke dalam Indonesia dengan moncong senjata dan pelanggaran berat HAM yang merupakan kejahatan Negara menjadi luka membusuk dalam tubuh bangsa Indonesia.

Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, pernah bernubuat sbb.

“Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal” (Detiknews, Rabu, 16/12/2011).

Waa…

IWP,31102018;09:53AM


Posted by: Admin
Copyright ©OtsusBlog "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar