Sabtu, 25 Agustus 2018

Demokrasi Oligarki dan Politik Kartel

Buletinnusa
Oleh 
Demokrasi merupakan suatu istilah politik yang masih menjadi perdebatan hangat dalam diskursus publik di Indonesia. Sejak tumbangnya Rezim otoriter Orde Baru pada 1998, masyarakat Indonesia mulai menaruh harapan besar pada sistem demokrasi. Dengan maksud sistem tersebut, minimal, dapat mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan sosial dapat segera terlaksana. Inilah momen di mana politik Indonesia mengalami transformasi kearah lebih terbuka yang ditandai oleh partisipasi aktif masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam mengawal dan mengontrol kinerja birokrasi.
Rudi Hartono


Demokrasi merupakan suatu istilah politik yang masih menjadi perdebatan hangat dalam diskursus publik di Indonesia. Sejak tumbangnya Rezim otoriter Orde Baru pada 1998, masyarakat Indonesia mulai menaruh harapan besar pada sistem demokrasi. Dengan maksud sistem tersebut, minimal, dapat mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan sosial dapat segera terlaksana. Inilah momen di mana politik Indonesia mengalami transformasi kearah lebih terbuka yang ditandai oleh partisipasi aktif masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam mengawal dan mengontrol kinerja birokrasi.

Namun, transformasi politik tidak membawa dampak yang baik bagi kehidupan masyarakat. Sebab perubahan tersebut tidak menempatkan rakyat sebagai aktor utama, melainkan hanya sebatas aktor cadangan semata. Ketika hajatan politik elektoral berlangsung, baik itu Pilkada maupun Pemilu, kehadiran rakyat baru benar-benar dibutukan. Meskipun hanya untuk memilih figur yang sudah di seleksi dalam kerangka kepentingan oligark.

Kesenjangan yang begitu besar merupakan bukti bahwa rakyat selama ini dipinggirkan dalam urusan-urusan ekonomi dan politik. Posisi rakyat yang lemah secara ekonomi secara tidak langsung melemahkan posisinya dalam politik. Sebab kondisi ketimpangan akan sangat mustahil melahirkan kesetaraan politik. Terbukti ketika rakyat tidak memiliki kuasa untuk menentukan siapa sebenarnya aktor yang layak untuk masuk dalam gelanggang kontestasi elektoral. Ketika rakyat di mobilisasi oleh elite politik untuk memilih, maka hal itu akan berimplikasi pada pupusnya harapan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dititik inilah kita perlu menelaah kembali dengan kritis terkait fenomena politik di Indonesia sekarang. Maka pertanyaannya adalah atas dasar apa koalisi itu terbentuk? Mengapa koalisi partai di level nasional itu berbeda dengan koalisi dilevel daerah? Mengapa fenomena bagi-bagi kekuasaan selalu terjadi saat Pemilu selesai? Lantas bagaimana partai menempatkan agenda-agenda kerakyatan dalam negosiasi dalam internal koalisi? Pertanyaan tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan untuk membaca fenomena politik sekarang.

Koalisi Sebagai Tahap Awal Politik Kartel

Dalil yang sering digunakan oleh elite politik ketika ditanya terkait koalisi adalah adanya kesamaan visi dan platform dalam memperjuangkan kepentingan publik. Jika dalil tersebut benar, maka dalam kasus Partai PKS dengan PDIP atau Demokrat dengan PDIP narasi kesamaan visi dan platform perjuangan akan terbantahkan. Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, Demokrat dan PKS tidak pernah berkoalisi dalam Pemilu, namun dalam kasus Pilkada justru mereka sering membangun koalisi bersama.

Artinya terbentuknya koalisi tidak sepenuhnya didasarkan pada kesamaan visi dan platfom partai, melainkan lebih kepada kepentingan elite partai semata. Inilah yang menjelaskan mengapa setiap selesai Pemilu atau Pilkada, bagi-bagi kekuasaan itu menjadi sesuatu yang logis bagi elite politik. sebab dengan mendapatkan kekuasaan maka sejatinya itu merupakan langkah awal dalam mengembalikan uang yang telah digelontorkan pada saat Pilkada atau Pemilu. Inilah kartel partai politik.

Politik kartel merupakan suatu istilah dalam ilmu ekonomi yang secara substansial memiliki makna hegemonik. Artinya bahwa politik kartel hendak meminimalisir persaingan dan cenderung memegang kontrol ketat yang dijalankan oleh segelintir elite dominan. Maka yang terjadi adalah agenda-agenda kerakyatan menjadi tersingkir diatas agenda individualistik, kolega bisnis dan kepentingan partai. Institusi pemerintah sudah tidak menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada arena akumulasi kapital.

Politik kartel hanya memberikan ruang bagi elite predators untuk menguasai institusi pemerintah dan politik. Masyarakat Sipil menjadi semakin terpinggirkan dalam urusan-urusan ekonomi dan politik. Kondisi ini oleh Yuki Fukuoka (2013) disebut sebagai Demorkasi Oligarki yang menempatkan elite predators sebagai aktor utama dan meminggirkan kepentingan rakyat.

Politik kartel yang di praktikkan dibawa panji-panji Demokrasi Oligarki, semakin memperkuat asumsi publik bahwa kursi kekuasaan hanya diperuntukan oleh mereka-mereka yang secara sumber daya material unggul. Artinya arena demokrasi –Pemilu atau Pilkada– hanyalah kontestasi antar elite, sedangkan rakyat hanya dijadikan sebagai objek semata. Perkara aktor mana yang menang dalam arena demokrasi itu hanya soal waktu, tapi yang jelas bukan rakyat! Melainkan elite itu sendiri.

Maka politik Indonesia saat ini hanya menjadi arena kontestasi antara elite oligark dalam upaya menciptakan kondisi akumulasi kapital dan mengamankan sumber daya material yang dimiliki. Hal ini dikarenakan oleh masih terdapat ketidaksetaraan sumber daya material dalam struktur masyarakat yang seharusnya di atasi oleh pemerintah, baik itu pusat maupun daerah. Dalam kondisi inilah para politikus yang menjadi kontestan politik elektoral pilkada, pilieg dan pemilu sesungguhnya tidak lahir dari kekuatan riil rakat.

Tesis Jeffrey Winters (2011) memberikan kita gambaran sangat jelas dalam memahami fenomena politik dewasa ini. Menurutnya “ketidak setaraan sumber daya yang ekstrem, tentu akan menghasilkan ketidak setaraan politik yang ekstrem pula”. Bila kita telisik lebih jauh tesis tersebut, maka kita akan menemukan fakta riel dalam masyarakat bahwa partisipasi rakyat dalam demokrasi oligarki merupakan partisipasi ilusif. Di mana masyarakat yang menggunakan hak pilih mereka dalam arena demokrasi dituntun oleh satu kesadaran palsu.

Dikatakan kesadaran palsu, sebab rakyat seakan tidak menyadari betul akan struktur dan sistem yang ada. Mereka bahkan melihat kondisi kemiskinan secara terpisah dengan sistem. Padahal kemiskinan adalah buah dari sistem yang tidak adil. disini kita juga perlu untuk melihat narasi populisme yang hendak dijadikan sebagai salah satu strategi politik.

Sebab politik kartel yang berada dalam panji demokrasi oligarki berjalan secara mulus jika strategi politik yang digunakan adalah populisme. Hanya dengan begitu elit predators dapat mengelabui pikiran publik dengan diktum-diktum kerakyatan, moral dan identitas.

Kekuatan oligarki yang semakin tidak tertandingi memberikan ruang gerak untuk membajak kanal-kanal demokrasi, baik itu partai politik, media, dan institusi pemerintahan, semakin berpotensi untuk mendisorientasi agenda-agenda kerakyatan yang semestinya dapat diperjuangkan.

Dalam konteks itu, visi demokrasi yang mendorong adanya kesetaraan politik dan mementingkan kepentingan publik, menjadi tidak relevan. Konsekuensinya adalah potensi menurunnya kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi terbuka lebar.

Konsolidasi Demokrasi

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kekuatan masyarakat melalui aksi massa tahun 1998 hanya berhasil meruntuhkan rezim orde baru, tapi tidak belum berhasil dalam meruntuhkan secara total dominasi militer dan oligark. Kondisi ini tentu tidak perlu untuk dipertahankan. Sebab itu hanya akan memperpanjang derita bagi rakyat yang selama ini disingkirkan dalam urusan-urusan ekonomi dan politik. Dengan kata lain kita perlu merumuskan kembali formulasi gerakan konsolidasi ditataran masyarakat sipil untuk mempercepat proses demokratisasi.

Menurut Diamond (2003) konsolidasi Demokrasi merupakan persoalan menciptakan stabilitas dan presistensi demokrasi. Tapi jika kita berangkat dari gagasan tersebut, justru proses penindasan kelompok dominan terhadap kelompok subordinat akan terus berlangsung. Maka yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana kekuatan masyarakat sipil membangun suatu gerakan pemberdayaan rakyat yang berdimensi kelas.

Mandeknya proses demokratisasi dikarenakan oleh kekuatan masyarakat sipil belum mampu sepenuhnya menggeser kekuatan kelompok dominan yang menjadi aktor pembajak demokrasi. Sehingga kondisi ini yang cenderung dimanfaatkan oleh kekuatan Oligarki dan Militer untuk kepentingan ekonomi-politik mereka semata.

Kondisi ini sebenarnya rentan untuk memunculkan disintegrasi gerakan masyarakat sipil, sebab hal ini akan membuat masyarakat terjebak kedalam kondisi saling mengkritik dan mengutuk antara satu dengan yang lain, maka secara tidak langsung akan berimplikasi pada substansi gerakan perlahan memudar. Inilah yang sering diabaikan oleh orang yang berada pandangan dalam kelompok masyarakat sipil, baik itu mereka yang bergelut dalam isu gender, HAM, korupsi dan lainnya.

Lenin dalam State and Revolution mengatakan bahwa “Negara adalah produk dari manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas”. Diktum tersebut menunjukkan suatu kondisi tentang negara yang berada dalam kuasa kelas dominan. Jika kondisi negara dengan sistem pemerintahan demokratis terus dibiarkan berada dalam kekuatan politik borjuis maka, jelas proses demokratisasi tidak akan pernah terwujud.

Karena kemunculan kekuatan politik borjuis justru hendak menggiring demokrasi kearah elektoral semata. Sehingga struktur ketidak adilan dalam negara akan terus dirawat. Maka membangun soliditas gerakan masyarakat sipil harus menjadi agenda mendesak mempercepat proses demokratisasi.

Penulis adalah Mahasiswa MPI UIN Maliki Malang dan Kader di FINE Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar