Jumat, 31 Agustus 2018

Ketua MRPB Bersama Masyarakat Adat Palang PT. BAPP di Tambrauw

Buletinnusa
Ketua MRPB Bersama Masyarakat Adat Palang PT. BAPP di Tambrauw
Ketua MRPB bersama masyarakat adat palang PT. BAPP di Tambrauw.
Tambrauw -- Menilai kehadiran PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) selama ini di Lembah Kebar, Distrik Kebar dan Miyah, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat telah mengabaikan hak – hak masyarakat adat bahkan merugikan dan di duga telah melakukan sejumlah penipuan kepada masyarakat adat, akhirnya Ketua MRPB bersama masyarakat adat Mpur sebagai pemilik ulayat melakukan pemalangan pintu masuk PT BAPP dan meminta semua aktifitas perusahaan tersebut dihentikan, Kamis (30/8/2018) sore.

Ketua MRPB, Max Ahoren menjelaskan, kegiatan prosesi adat atau pemalangan ini dilakukan oleh masyarakat adat suku Mpur Lembah Kebar karena menilai cukup banyak pelanggaran yang telah dilanggar oleh PT. BAPP semenjak beroperasi di daerah tersebut sejak kurang lebih 4 tahun lalu

“perusahaan ini telah banyak melakukan penipuan dan melanggar hak adat, PT. BAPP memanipulasi dasar peralihan pengoperasian lahan kebun jagung yang dikelola swadaya sebelummya bersama masyarakat seluas kurang lebih 19.364,77 hektar, ke lahan penanaman perkebunan kelapa sawit di Lembah Kebar”, kata max Ahoren.

Selain itu, dalam tahapan peralihan kuasa penggunaan tanah adat seluas 19.364 hektar, PT. BAPP diklaim tidak mengindahkan hak adat.

“PT. BAPP melakukan pembukaan area hutan secara paksa dengan cara melakukan penebangan liar, dan penimbunan sejumlah kayu log didalam tanah, sehingga segala bentuk operasional PT. BAPP harus dihentikan”, tegas Ketua MRPB lagi.

(Baca ini: Marga Mahuze Segel Lokasi Pembangunan Pabrik Sawit di Muting)

Menurut Ketua MRPB penebangan hutan secara liar, dan pembukaan lahan yang telah di lakukan perusahaan tersebut harus di selesaikana dulu oleh perusahaan kepada masyarakat adat harus di selesaikan dulu dengan memberikan kompensasi yang layak.

Max Ahoren juga menegaskan bahwa pihaknya selaku representasi kultural setelah melakukan pemalangan kemarin selanjutnya akan melakukan upaya hukum dengan membentuk Pansus bersama dengan DPRPB untuk membela hak – hak masyarakat adat.

“Persoalan Suku Mpur akan kita selesaikan, segera kita bentuk Pansus bersama DPRPB, kalau di biarkan para mafia korporasi ini akan semena – mena dan mengabaikan hak konstiusional masyarakat adat”, tegasnya lagi.

Ketua Harian Lembaga Masyarakat Adat – Papua Barat (LMA – PB) Frengky Umpai mengungkapkan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah upaya menyelamatkan hutan dan tanah adat, apalagi bila di gunakan oleh perusahaan dengan mengabaikan hak dan budaya adat.

“wilayah ini bukan milik negara atau sekelompok korporasi, ini adalah konsesi masyarakat adat jadi kalau mau investasi libatkan adat, karena soal hutan adat itu sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 35/PUU-X/2012 yang mengakui keberadaan hutan dan ulayat adat yang juga atur bagaimana mekanisme penggunan tanah adat itu, jadi sesuai putusan MK itu, hutan adat bukanlah hutan negara, jadi tidak bisa perusahaan berpikir sudah baku atur dengan pemerintah di pusat, atau provinsi dan kabupaten, terus mereka merasa sudah berhak mencapolok hutan kami”, kata Frengky Umpai.

Ia mengaku mendukung upaya yang dilakukan oleh MRPB, dengan harapan setelah pemalangan, masyarakat adat juga akan berkomitmen melakukan gerakan rehabilitasi wilayah adat yang telah rusak oleh aktivitas perusahaan pemegang ijin dari negara.

Ia juga berharap dengan adanya aksi ini, perusahaan meggunakan aparat untuk mengamankan kegiatannya, dan aparat juga harus menempatkan diri di posisi rakyat, jangan mau di peralat perusahaan, sehingga bisa menimbulkan gesekan antara masyarakat adat dengan aparat seperti yang sudah – sudah.

Dari pantauan TIFAOnline, selain Ketua MRPB dan beberapa anggotanya, terlihat juga beberapa anggota DPRPB yang ikut dalam aksi pemalangan dan penutupan operasional PT BAPP di Lembah Kebar kemarin.

Diantaranya Rudy. F. Timisella dari Fraksi Golkar, Xaverius.Kameubun dari Fraksi PKPI, dan Ketua serta pengurus LMA-PB, Pokja Adat, Pokja Perempuan MRP-PB, Kapolsek Kebar dan Danramil Koramil 1704-02 serta sejumlah tokoh dan masyarakat adat Mpur.

Saat prosesi adat penutupan operasional PT. BAPP juga di saksikan oleh pihak perusahaan, dimana terlihat dua orang perwakilan perusahaan bernama Edy dan Prayianto turut menyaksikan proses adat tersebut, dimana keduanya hanya bisa menyaksikan masyarakat adat yang merangsek ke dalam base camp perusahaan.

“kami hargai hak ulayat adat, kami masih menunggu apa keputusan dari manajemen di kantor, termasuk juga bagaimana kebijakan dari pemerintah, khususnya dari Pak Gubernur Papua Barat karena kehadiran perusahaan di sini sesuai dengan izin dan keputusan Kementerian Kehutanan Nomor: SK.973/Menhut/Il/2014 Tentang Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit atas PT Bintuni Agro Prima Perkasa di kabupaten Tambrauw Papua Barat seluas kurang lebih 19.368,77 hektar tersebut”, kata keduanya menjelaskan.

(Baca juga: Diskusi Kritis Menyikapi Eksploitasi Alam Papua)


Copyright ©TIFA Online "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar