Kamis, 30 Agustus 2018

Papua Bukan Provinsi Otonomi, Tetapi Wilayah Koloni

Buletinnusa
ANGGAL 8 November lalu, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas evaluasi pembangunan Indonesia di Papua. Kata Presiden, Rp. 85,7 triliun dana pembangunan yang sudah digelontorkan tidak setara hasil, karena proses perencanaan belum melibatkan berbagai sektor, dan daerah belum terintegrasi dengan baik.

Tidak ada yang baru dari kegagalan ini. Tidak juga dari evaluasinya. Dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga sudah mencanangkan dan melakukan pembangunan (nama badan programnya UP4B). Sehingga tak ada yang samasekali baru dari apa yang diprogramkan Presiden Joko Widodo. Tidak ada evaluasi baru karena pendekatannya memang tidak baru.

Anda perlu tahu, sejak dipindahkan ‘administrasinya’ dari UNTEA (The United Nations Temporary Executive Authority) ke Indonesia 1 Mei 1963, ‘tugas-tugas pembangunan’ semacam ini adalah kewajiban negara Indonesia kepada Netherland New Guinea (sebutan Papua saat itu), selain kewajiban menyelenggarakan referendum. Bahkan menurut kesaksian seorang peserta Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, ‘musyawarah Pepera’ malah menyosialisasikan Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Soeharto, bukannya membicarakan pilihan-pilihan dan aspirasi politik masyarakat asli Papua untuk berdaulat sendiri atau ikut Indonesia dalam pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).

Anda bisa kemukakan sekian ‘kebaikan’ (atau ‘kemajuan’) di era Jokowi, termasuk yang disebut berulang-ulang bagai iklan oleh berbagai media: BBM satu harga. Apa yang baru jika semua itu adalah hal-hal yang sudah sepatutnya dilakukan sebuah pemerintahan pada rakyatnya, di teritori yang puluhan tahun terus berada di indeks pembangunan manusia paling rendah?

Hampir dua tahun yang lalu, hal serupa juga terjadi saat pemerintah membebaskan lima tahanan politik (tapol) hingga menjadi berita dimana-mana. Kontroversi dan penipuan di balik pembebasan Tapol Papua tersebut tidak ada yang gubris. Yang lebih penting, Presiden Jokowi sudah tampak melakukan kebaikan pada orang Papua. Kelima mantan Tapol itu kini sudah bebas, dan tetap melanjutkan perjuangan mereka untuk Papua Merdeka. Mereka tidak sudi menerima bantuan ekonomi apapun dari pemerintah Indonesia.

Jangan lupa, bukan pembangunan Papua yang sedang menjadi sorotan internasional sejak dulu sampai sekarang, melainkan kondisi Hak Azasi Manusia dan penghidupan masyarakat asli Papua.

Hari ini, 14 November, Jokowi diminta Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) untuk memberikan laporan—yang tidak dibuat sejak 2010—terkait kekerasan berbasis ras di West Papua. Wiranto menjawabnya: “Masih kita pelajari dengan seksama,”

Awal tahun 2014 lalu, di hadapan Sub Komite HAM Parlemen Eropa, deputi duta besar Indonesia untuk Uni Eropa juga ‘pamer pembangunan’. Padahal yang digugat adalah ruang demokrasi dan tuntutan agar pemerintah mengakui sudah salah pendekatan dan melakukan pelanggaran HAM.

Pemerintah Indonesia sudah biasa ditanya lain, jawab lain; latihan lain, main lain. Mereka tidak peduli tekanan internasional, karena sudah merasa menang kuasa di Papua. Jangankan peduli, memberi jawaban rasional saja merasa tidak perlu (masih ingat Nara?) Ryamizard dengan santai ‘mengancam’ Kepulauan Solomon soal integritas teritorial Indonesia saat pemerintah negeri itu berani membela masa depan masyarakat Melanesia di West Papua. Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menjelaskan apapun soal Papua, kepada siapapun. Mereka hanya perlu deklarasikan: Papua itu NKRI. Apapun pertanyaannya, jawabannya itu saja.

Inilah fragmen paling kecil yang menunjukkan Papua bukan provinsi Indonesia, melainkan wilayah koloninya. Tidak apa, jangan malu mengakui. Prancis memiliki koloni, Belanda, Inggris, dan Australia juga, Bedanya, mereka negara-negara yang kolonial sejak dari sononya. Tidak seperti Indonesia yang baru belajar.

Kolonialisme adalah perpanjangan kedaulatan suatu bangsa atas wilayah di luar batas teritorinya melalui pendudukan (settler colonies) atau ketergantungan administratif, dimana populasi masyarakat asli secara langsung dikuasai atau dipindah-pindahkan. Dalam sejarah hukum dan politik, Papua itu koloni karena kedaulatan Indonesia atas Papua belum final oleh banyak kontroversi. Tetapi tidak banyak orang mau tahu, karena kontroversinya tidak pernah digali. Semuanya ‘pokoknya NKRI’.

NKRI belum final

Pepera 1969 tidak bisa melegitimasi kedaulatan hukum Indonesia atas Papua, karena dilakukan di bawah tekanan dan ancaman, tidak demokratis, bukan pemilu langsung dan bebas, hanya musyarawah dengan alasan “orang Papua belum siap berpemilu”. PBB hanya mencatat hasilnya tidak membuat resolusi apapun terkait integrasi ‘Irian’ ke Indonesia.

Hal itu diungkap oleh studi hukum internasional atas status hukum West Papua oleh Melinda Janki. Menurut dia, wilayah West Papua masih masuk dalam kategori teritori tak berpemerintahan sendiri dan masih tetap berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. 1 Mei 1963 secara hukum bukan penyerahan kedaulatan, tetapi penyerahan administrasi kolonial.

Klaim kedaulatan Indonesia atas West Papua mulai dari Negarakertagrama sampai debat-debat di BPUPKI itu semuanya klaim politik, bukan hukum. Trikora 1961 pun klaim politik, bukan hukum. Hingga 1969, Indonesia masih mengakui bahwa Papua berhak atas penentuan nasib sendiri, karena itulah hukum.

Mekanisme serta hasil Pepera itu yang sedang digugat karena melanggar hukum internasional. Atas landasan itu pula gerakan seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengampanyekan referendum Papua sebagai solusi sesuai hukum internasional.

Klaim politik sah-sah saja karena konfirmasinya ada di masyarakat koloni (de facto, seperti proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945). Tetapi ia dibatasi hukum (de jure, karena itu Indonesia merdeka diakui oleh hukum internasional baru tahun 1949). Klaim politik Indonesia atas Papua pun sah-sah saja, sepanjang tidak ada yang gugat. Faktanya, klaim politik itu sejak awal perebutan ‘Irian Barat’ hingga detik ini terus digugat dan dilawan masyarakat koloni. Hasilnya, siapa yang yakin dan berani bilang rakyat Papua de facto cinta mati NKRI?
Papua Bukan Provinsi Otonomi, Tetapi Wilayah Koloni

Pembangunan dengan pendudukan

Belanda juga membangun Hindia Belanda, bukan? Demikian pula Indonesia membangun Papua. Tetapi pembangunannya itu dengan pendudukan (bertambahnya orang-orang pendatang) demi penjajahan.

Bisa dicek siapa yang jadi penduduk, pelaku ekonomi; siapa yang lebih banyak dipenjara dan ditangkap; siapa yang lebih banyak mati dan masuk rumah sakit atau ditembak; siapa yang dibangun dan disingkirkan; siapa yang dikuasai dan dipindah-pindahkan; siapa yang boleh bicara bebas dan siapa yang tidak? Siapa yang berkalang stigma dan siapa yang tidak?

“Semoga di Papua siapa saja juga boleh menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas dll.. Sangat boleh jadi dengan cara seperti itu Papua akan lebih cepat maju…” demikian pernyataan seorang tokoh dan periset yang sangat rajin mengampanyekan pembangunan di Papua.

Sebagai periset, aneh juga kenapa dia belum dapat informasi bahwa tidak lebih banyak pejabat eselon di Papua itu yang orang asli Papua, apalagi jajarannya. Ditambah lagi usulan aturan yang mewajibkan kepala dan wakil kepala daerah tingkat II Orang Asli Papua (OAP) juga ditolak oleh pusat.

Lalu bagaimana cara membangun di wilayah koloni?

Melalui peta jalan rancang bangun yang sesuai keinginan pusat kolonialnya. Kalaupun mengambil masukan dari para pemimpin wilayah koloni, maka masukan-masukan yang bisa menguatkan kebijakan pusat koloni saja. Buktinya, masukan paling ‘visible’ seperti “Papua Road Map 2009” oleh LIPI yang sering dijadikan referensi berjenis ragam orang, dijadikan bahan diskusi paling luas, tidak bisa dijadikan road map negara kolonial.

Otonomi khusus adalah ‘hadiah’ di tahun 2001, menjawab Papua Spring yang menuntut kemerdekaan (1999-2000). Majelis Rakyat Papua (MRP) sudah mengembalikan UU Otsus karena dinyatakan gagal pada tahun 2005. Dewan Adat Papua juga menyatakan hal yang sama di tahun 2010. Pusat koloni tidak mau tahu. Otonomi (koloni) khusus jalan terus. Pusat kolonial memompa uang lebih banyak lagi, memecah wilayah-wilayah koloni dan orang-orangnya lewat pemekaran dan pembukaan wilayah baru bagi para pemukim baru (baca: lebih banyak pembangunan = lebih banyak transmigrasi).

Itulah sebabnya juga kita tidak akan temukan “sense of urgency” (perasaan kedaruratan) di kalangan orang-orang di pusat kolonial terhadap percepatan tingkat kematian orang-orang asli Papua yang dinyatakan sebagai genosida perlahan itu. Bagi pusat kolonial tidak masalah orang-orang Papua asli semakin minoritas, toh penggantinya (orang-orang migran baru) sudah disiapkan oleh road map ekonomi pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam.

Banyak yang menyebutkan, pembangunan gagal karena orang Papua tidak tahu kerja, pemabuk dan korup. Sehingga yang pemabuk ‘sah ditembak’, tetapi yang korup dibiarkan negara, agar jika pembangunan gagal negara tinggal bilang: “salah sendiri, elit Papua memang korup”.

Inilah bagian dari rasisme. Dan dalam kolonialisme rasisme adalah karakter bawaan dari tindakan, lembaga-lembaga dan modus produksi dan pertukaran kolonialis. Aturan sosial dan politik akan saling menguatkannya. Demikian kata Sartre sewaktu mengantar buku Albert Memmi, The Colonizer and the Colonized.

HAM Di Wilayah Koloni

Bagaimana cara ‘menegakkan HAM’ di wilayah koloni?

Dengan cara menghindari semua tanggung jawab internasional sebuah negara berdaulat. Gunakan alasan “integritas teritorial”, “non intervensi” pada setiap pertanyaan internasional. Pemerintah komitmen selesaikan persoalan HAM Papua, demikian janjinya. Janji yang sudah diucap sejak Soeharto dilengserkan. Janji yang sudah dilanggar berkali-kali. Janji yang sudah membuat pelaku pelanggaran HAM dapat promosi jabatan dan jadi pemimpin politik baru (dari tingkat menteri hingga kepala badan tinggi negara).


Lalu, orang-orang koloni hanya disuruh percaya, di tengah sebagian orang-orang yang takut dan tidak berdaya karena institusi keamanan masih pegang kuasa. Yang berani bicara tinggal kasi stigma: OPM. Selesai perkara. Wilayah koloni tidak boleh bicara merdeka, karena itu Maklumat Kapolda Papua ditetapkan atas nama “menegakkan demokrasi Indonesia”, dan tahanan politik tetap ada dan bertambah.

Demikianlah kolonialisme. Ia menolak hak azasi manusia yang sudah ia bungkam dengan kekerasan, memaksanya tetap diam dalam situasi derita dan kebodohan, yang disebut Karl Marx sebagai suatu kondisi sub-manusia. Orang-orang sub manusia ini oleh karena itu harus dibangun seperti manusia-manusia di pusat kolonial: berbicara bahasa yang sama, berseragam yang sama, berkelakuan yang sama, dan melupakan masa lalu pelanggaran HAM dengan mekanisme non yudisial, demi ‘persatuan Indonesia’.

Jadi, mulai sekarang mari menjadi bangsa kolonial yang berbesar hati: kalau tidak setuju dukung Papua menentukan nasibnya sendiri, maka akui saja Papua itu koloni. Biar sedikit berkurang beban dosa sejarah bangsa ini.***


Posted by: Admin
Copyright ©IndoPregress "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar