Selasa, 21 Mei 2019

BARANGKALI, ALE MALU MAKAN SAGU

Buletinnusa

Catatan Rudi Fofid-Ambon

Jika kita tidak mengubah pola makan dan jenis pangan, lantas terus saja memanjakan diri pada bahan pangan impor, maka sebagai bangsa berdaulat, kita sebenarnya semakin tidak berdaulat.  

Nenek Melati (65), bukan nama sebenarnya.  Ia petani ulet pada sebuah kampung di Maluku.  Ia bukan petani kaya raya, tetapi juga bukan orang melarat.  Untuk hidup hari-hari bersama suami,  ia tidak pernah kekurangan. Saban minggu, dari kebunnya bisa ia panen pisang bertandan-tandan.

Dengan hasil kebun, Nenek Melati mengongkos seorang anaknya kuliah sampai jadi sarjana. Anaknya sudah menikah dan bekerja sebagai guru PNS.

Jika anak dan menantunya pergi bekerja, Nenek Melati punya kerja tambahan yakni merawat cucu-cucu.  Ia menjalaninya dengan sukacita.  Cucu-cucu juga senang karena mereka mendapat tambahan curah kasih sayang, dari nenek yang gemar memberi hadiah dan oleh-oleh.

Hari itu, Nenek Melati naik angkutan pedesaan ke kota.  Ia membawa beberapa tandan pisang. Di pasar, sudah ada penadah  jadi langsung saja jadi uang. 

Dengan uang hasil  jual pisang,  ia berbelanja beberapa kebutuhan pribadi.  Sebelum kembali ke kampung, nenek mampir membeli pisang molen yang dijual mas-mas dari Jawa Timur di gerobak.

Di kampung, tiga cucunya gembira berebut pisang molen yang ternyata berjumlah 10 potong.  Cucu paling besar dapat empat potong, si cucu tengah dapat empat, dan cucu paling kecil dapat dua potong.

Cucu bungsu merasa tidak adil.  Dia melihat masing-masing kakak mendapat empat potong, sementara dia cuma satu potong.  Dia memohon diberi satu, supaya adil, tetapi kedua kakak tetap bergeming.

Maka dengan jumawa, si bungsu melempar pisang molen di tangan ke lantai.  Menangislah ia sekuat tenaga. Nenek Melati mendengar suara tangis itu. Datanglah ia menemui cucu-cucu.

Nenek Melati memungut pisang dari lantai.  Dia pun merayu kakak-kakak agar berbagi adil.  Dua kakak menurut.  Akhirnya, semua cucu senang karena masing-masing dapat tiga potong.  Kebihan satu, dimakan Nenek Melati. Tenang dan senanglah ketiga cucu. Mereka bergembira makan pisang molen.

Kasus pisang molen ini remeh saja.  Sudah biasa peristiwa begini terjadi di mana-mana.  Bukan saja tentang pisang molen, melainkan jenis makanan yang lain.

TERIGU DAN ROTI

Dalam kisah cucu-cucu Nenek Melati, si bungsu memang  menuntut keadilan sebagai sebuah nilai.  Ia ingin sama rata sama rasa untuk bahan bernama pisang molen, tetapi sekaligus kasih sayang yang sama besar.

Di luar semua itu, sesungguhnya hal tak kentara di balik pisang molen adalah faktor terigu. Cucu-cucu Nenek Melati saban hari melihat pisang di kebun, pekarangan, maupun di dapur.  Pisang berlimpah.  Persoalannya, pisang yang dibalut adonan dari tepung terigu, diolah dengan molen oleh tangan terampil mas-mas, itulah sebuah citra dan pesona.

Dalam masyarakat kita, sebenarnya tepung adalah hal yang tidak asing.  Orang-orang penghuni pulau-pulau kecil di Nusantara termasuk di Maluku, sudah terbiasa memproduksi tepung seperti tapioka dari umbi singkong,  tepung maizena dari biji jagung, tepung hunkue dari kacang hijau, tepung beras dari beras dan beras ketan, dan sebagainya.

Tepung terigu sudah tentu bukan asli Maluku karena tanaman gandum (Triticum spp) penghasil tepung terigu, bukan tanaman khas Maluku dan Indonesia.  Sangat mungkin tepung terigu diperkenalkan oleh Bangsa Portugis, yang kemudian secara massal dilanjutkan Bangsa Belanda. Istilah terigu sendiri berasal dari kata Portugis, trigo, yang berarti gandum.

Tepung terigu atau tepung gandum yang kemudian menjadi bahan pembuat roti dan aneka makanan lain, benar-benar sebuah bahan dari luar Maluku.  Selain kata trigo dari Portugis, bisa dilihat juga pada istilah roti yang bukan asli Maluku.

Sebuah pertanyaan untuk kepentingan tulisan ini melalui akun facebook, mendapat respon para pengguna aktif bahasa daerah sehingga istilah roti dapat diverifikasi pada beberapa bahasa daerah di Maluku.

Berikut ini istilah roti dalam bahasa daerah di Maluku menurut para penggunanya:

Fatum Pelu : Barot (Hitu)
Han Holle : Barot (Luhu)
Monna Lestari : Barot (Asilulu)
M.r. Pahlewa : Barot (Seram Tanah Besar)
M.r. Pahlewa : Barot (Geser)
M.r. Pahlewa : Barot (Gorom)
Ichal Lestaluhu : Barot (Tulehu)
Rusda Leikawa : Barot (Morella)
Nur Hayati Renfaan : Rot (Kei)
Enzo Sciffo Jeujanan : Rot (Kei)
Memy Latuconsina : Barotu (Pelauw)
Ikhsan Tualeka : Barotu (Pelauw)
Neni Wakanno : Rotio (Hualoy)
Ulfa Tuahuns :  Borot (Kulur)
Ida Tamher Tuhuloula : Borot (Kulur)
Shelvia Hatala : Borot (Siri-Sori Islam)
Dhino Pattisahusiwa : Borot (Siri-Sori Islam)
Gerry Siwabessy : Borot (Ullath)
Paulus Presley Untajana : Brot (Marsela)
Brampi Ferdinandus-Tomaluweng: Brot (Passo)
Brampi Ferdinandus-Tomaluweng: Brot (Hutumuri)
Dino Umahuk : Roti (Ternate)
Lekry Roesli Souissa : Broot (Haruku)
Aldhy Renyaan : Barot (Banda Naira)
Anes Anakotta : Kore-koreya (Wemale)
 Silvia Mahu : Juada (Wakal)

Nampaknya Bahasa Wakal dan Wemale butuh verifikasi lanjutan,  mengapa istilahnya berbeda.  Sedangkan untuk kampung dan daerah di atas, dengan melihat kesamaan dan variasinya, dapat dipastikan semua istilah di atas berasal dari Belanda, brood,  karena Maluku mengalami perjumpaan yang lama dengan Belanda. Bandingkan Inggris   menyebut bread, dan Jerman menyebut brot.

Tentu roti, rot, brot, broot, barot, barotu, borod, semuanya bukan dari Portugal, Cina, maupun Arab, yang datang juga di Maluku.  Orang Portugal menyebut roti sebagai pao, Cina mianbao, dan Arab khabaz.

TERIGU YANG MENGGUSUR 

Kehadiran terigu  dan roti dalam kehidupan orang Maluku, telah membawa dampak sangat besar dalam kehidupan.  Orang Maluku tradisional memandang terigu dan roti sebagai sebuah kemewahan, karena unik, menarik, langka, dan berkelas.  Terigu yang sangat halus dan lembut, warna putih bersih, dan diolah menjadi roti yang rapi, harum, dan ada imaji panorama Eropa, semua ini menambah pesona.

Terigu ternyata tidak hanya bisa menjadi roti, melainkan aneka kue lain yang semuanya menarik dan punya rasa baru dalam lidah Maluku yang akrab dengan sagu, ubi, jagung, kacang.  Ketika terigu secara luas melanda pasar-pasar kota dan desa pasca Pemilu 1971 dan dimulainya Pelita I oleh Presiden Soeharto, terigu makin dominan dan perlahan-lahan menggeser menu tradisi.

Di Kei, semula pesta-pesta selalu menyuguhkan ubi goreng, pisang goreng dan kue ilu-langar (kue tambang, untir-untir, kue putar gorengan dari bahan tepung enbal)  sebagai menu utama dan massal. Pasca 1971, terigu semakin dominan dan kue tradisi tersebut perlahan-lahan tergusur dan tersingkir.

Ilutrasi Nenek Melati, cucu-cucu, dan pisang molen di atas, adalah pengalaman dalam lingkar keluarga saya.  Dalam perjalanan pribadi ke kampung-kampung dan pulau-pulau di Maluku Utara,  Maluku Tengah sampai ke Maluku Selatan, terlihat sungguh bahwa terigu dan segenap makanan produk turunannya telah menggeser menu tradisi, justru di saat orang Portugis dan Belanda sudah lama angkat kaki dari Maluku.

KEGILAAN IMPORTIR 

Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan Impor gandum Indonesia mencapai  7,48 ton pada tahun 2016, dan naik  menjadi 8,10 juta ton pada tahun 2017.  Dengan data ini,  Indonesia adalah negara dengan pengimpor gandum nomor dua terbesar di dunia, di bawah mesir.   (jurnalistravel.com).

Pada bulan Januari 2018, Departemen Pertanian Amerika Serikat kembali memprediksi Indonesia bakal menjadi negara pengimpor gandum terbesar periode 2017-2018 dengan volume 12,50 juta ton, menggantikan posisi Mesir. (ekonomibisnis.com)

Tahun 2019 ini, harga gandum di pasaran dunia meningkat, tetapi kebutuhan gandum juga meningkat.  Indonesia selama ini mengimpor gandum dari Australia, Kanada, Ukraina, dan Amerika Serikat.  Peningkatan kebutuhan gandum tidak lain karena kebutuhan produksi makanan termasuk mie instan juga meningkat.  Orang Indonesia  makin banyak makan mie instan.  Tanpa memeriksa data produksi dan konsumsi mie instan, kita bisa menyaksikan perilaku makan mie instan yang sudah sangat luas sampai ke pedesaan di seluruh pelosok Nusantara, termasuk juga memeriksa sampah plastik di pantai-pantai.

Indonesia ternyata memang menjadi negara yang dilanda kegilaan impor.  Apa saja diimpor yang penting menguntungkan importir.  Kedele, garam, ikan, dan paling akhir adalah singkong juga diimpor.  Kegilaan impor apa saja membuat semangat memberdayakan pangan lokal dan tradisional menjadi suam-suam kuku, frigid, dan impoten. 

Pebisnis mengimpor apapun dan mendapat dukungan dan proteksi negara.   Sebab itu kesadaran dan kebanggaan terhadap kehandalan makanan lokal menjadi terlupakan.

Di Maluku, tidak ada masalah budidaya gandum karena tidak cocok iklim.  Semua tepung terigu datang dari Jawa, yang mengimpor bahan baku dari luar negeri.  Akan tetapi pangan tradisional di Maluku tetap dilindas oleh politik beras.  Universitas Pattimura belum pernah mengeluarkan opini dan rekomendasi  untuk pengembangan beras di Maluku.  Rektor Universitas Pattimura pada masa berbeda Dr. J. Lawalata, Dr J. Nanere, dan Dr Mus Huliselan, pernah menyatakan pendapat yang sama.  Padi dan sawah tidak cocok di Maluku karena pulau-pulau Seram, Buru, dan Halmahera,  digolongkan sebagai pulau kecil.

Pendapat ilmiah Universitas Pattimura, sungguh tidak pernah digubris Pemerintah Provinsi Maluku.  Dinas Pertanian dan Dinas Pekerjaan Umum selalu dengan bangga mempresentasikan keberhasilan cetak sawah baru, bangunan irigasi, dan peningkatan produksi padi di Maluku.

Kebijakan pemerintah dan importir, sungguh seiring-sejalan dengan hasrat masyarakat yang sudah telanjur memuja-muji, mengagung-agungkan  bahan makanan kasta impor.  Suara-suara untuk kembali ke pangan tradisional, tenggelam dalam hiruk-pikuk pemujaan terhadap bahan pangan global.

Jadi, jangan dikira kegilaan cucu-cucu Nenek Melati adalah semacam sikap kampungan karena baru pernah jumpa makanan berbahan terigu.  Republik ini memang menciptakan dan merawat pemujaan pangan impor, merawatnya dengan sayang, dan membiarkan pangan lokal  tidak punya ketahanan dan kedaulatan.

PERTANIAN OH PERTANIAN

Hari ini, kita sedang menghadapi kenyataan lapangan bahwa semakin sedikit orang muda menjadi petani di wilayah pedesaan.  Para petani adalah mereka yang berusia di atas 50 tahun.  Sedangkan di kota,  terjadi penurunan bahkan kelangkaan minat dan jumlah orang muda kuliah di fakultas pertanian.  Bukan cuma di Universitas Pattimura, melainkan juga perguruan tinggi lain di Nusantara.

Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan Dr Surya Abadi Sembiring,   pernah menulis artikel berjudul Mengapa Minat Studi Pertanian Menurun?  Ia lantas membeberkan fakta-fakta bahwa sebagian besar anak petani tidak berminat memilih jurusan pertanian meskipun biaya studinya dari kegiatan usaha tani.

Sembiring menyatakan, anak petani tidak mau seperti orangtuanya. Para petani telah rela menjadi hamba bagi banyak orang secara penuh tanggung jawab, dedikasi tinggi, kejujuran, tetapi tidak mendapatkan pujian dan sering dilupakan.

Masih menurut sembiring, dalam kehidupannya yang panjang sebagai petani, frekuensi tertawa  lebih sedikit dibandingkan dengan rasa kecewa dan sedih.  Apabila petani lebih sering kecewa dan dalam kesedihan, anaknya pun ikut merasakannya dan tidak termotivasi memilih jurusan pertanian.

``Apakah calon mahasiswa tidak memilih karena menjadi petani identik dengan kemiskinan? Si calon mahasiswa mengalami dan melihat pengalaman orangtuanya yang selalu meminjam setiap membiayai sekolahnya atau memenuhi kebutuhan hidup lainnya sehingga memutuskan tidak memilih pada jurusan pertanian,`` demikian Sembiring.

Meskipun Indonesia adalah negara agraris dan mayoritas penduduk tinggal di desa, namun pembangunan ternyata berpusat di kota.  Kota makin bercahaya dan desa makin suram. Kota adalah gamaran metropolis yang modern, maju, kaya, baik, bagus, penuh harapan.  Sebaliknya desa adalah gambaran masyarakat tradisional yang rural, tertinggal, miskin, buruk, harapan suram.  Dikotomi ini membuat persepsi tentang pertanian dan pedesaan adalah satu paket lengkap yang tidak menarik, dan layak diberi lebel kampungan.

MASIH ADA JALAN PULANG

Siapa bilang kita tidak boleh makan roti dari tepung terigu?  Boleh! Tidak ada larangan.  Kita boleh makan keju, boleh makan pizza, spageti, minum wine, atau apa saja yang datang dari luar sana, selama  makanan dan minuman tersebut tidak dilarang oleh dokter, aturan adat, agama, maupun negara.

Persoalannya, selama kita terus-menerus menganggap makanan impor sebagai makanan mulia melebihi makanan tradisi kita, maka lidah kita akan terus-menerus kecanduan pada cita rasa makanan impor, hasil persepsi yang tumbuh dari dalam diri sendiri, maupun oleh pembangunan citra melalui iklan-iklan.

Secara manajemen praktis, makanan impor dari kanal industri raksasa, sungguh pandai memainkan perasaan konsumen.  Di luar iklan, bahan kemasan, desain grafis,  hingga pilihan warna,  telah menjadi magnet memikat mata, pikiran, lidah, dan kantung.  Sebaliknya pangan tradisional tertinggal begitu saja,  terlantar, dan semakin terpuruk laksana makanan hina-dina.

Ungkapan terlantar, terpuruk, dan hina-dina di sini, mungkin terlampau dramatis tetapi demikianlah adanya.  Tentu ada banyak pengecualian. 

Adegan Kaka Sani (Chico Jerikho) makan papeda dalam filem Cahaya Dari  Timur: Beta Maluku, patut dihormati sebagai selipan promosi agar sayang sagu dan bangga sagu.  Adegan ini hadir di tengah satu lapisan baru dalam masyarakat yang makin terasing dengan sagu.  Akibatnya, sagu kini hadir di restoran-restoran mewah, dan disantap oleh orang-orang berkantong tebal.

Hormat diberi, bagi rumah makan tradisional di Tulehu, yang dengan bangga menyajikan makanan kampung secara konsisten.  Hormat pula kepada sejumlah pihak yang mengembangkan sagu dan enbal rasa kacang, coklat, keju, dan sebagainya.

Orang Maluku sebenarnya bisa menjadi pelopor kedaulatan pangan.  Caranya cukup sederhana asalkan ada niat dan cinta.  Misalnya, pada pagi hari, berhentilah atau kurangilah makan roti dan kue berbahan dasar terigu.  Kebanggaan semu yang menobatkan diri sendiri sebagai keblanda-blandaan adalah percuma dan mahal.

Sebagai pengganti roti, kita bisa kembali pada sagu lempeng  dengan teh atau kopi, tetapi tidak begitu saja.  Kita bisa makan sagu dengan abon ikan, ikan asar rica-rica, ikan goreng, atau ikan bakar.  Kalau sudah begini, tentu kita butuh sayur juga.  Pilihan sayur yang mudah adalah kangkung potong atau sawi yang hanya digodok sebentar dalam air panas.  Karena sayur hanya direbus, kita butuh sambal yang menawan.  Cili, garam, tomat, dan terasi dobo yang legendaris itu adalah pilihan yang pas.

Jika makan pagi kita seperti di atas dan bukan lagi roti, maka stamina kita akan jauh lebih baik dari pada sekadar roti yang sudah digelembungkan oleh ragi.  Banyak orang ke tempat kerja sebelum jam 08.00 pagi, dan sudah lemas pada jam 11.00 pagi.  Mereka kemudian mencari rumah kopi atau membeli makanan ringan untuk ganjal perut sambil menunggu jam makan siang.  Penyebabnya, mereka sarapan dengan makanan dari bahan terigu.

Jika pada hari ini makan sagu pagi hari, besok bisa diganti dengan menu lain.  Pisang abu-abu yang sudah mengkal atau masak, direbus dengan kulit.  Pisang masak dengan rasa manis alami  ini dapat dimakan begitu saja, atau bersama lauk lengkap yakni ikan dan sayur.

Setelah sagu dan pisang rebus, hari berikut lagi bisa suguhkan kolak labu,  kasbi tone,  bubur kacang merah,  petatas rebus, kumbili, dan sebagainya. 

Bahan makanan yang disebutkan di atas, adalah bahan-bahan yang secara mudah bisa kita temukan di pasar-pasar tradisional.  Andai kita sudi membelanjakan uang kita untuk bahan pangan tersebut, maka kita sedang  memberdayakan diri sendiri, memberdayakan pedagang di pasar, dan terutama mengangkat harkat dan martabat petani di kampung-kampung Maluku, bukan petani nun jauh di negara-negara empat musim.

Jika kita tidak mengubah pola makan dan jenis pangan, lantas terus saja memanjakan diri pada bahan pangan impor, maka sebagai bangsa berdaulat, kita sebenarnya semakin tidak berdaulat.

Dunia boleh maju.  Orang bisa terbang sampai ke bulan.  Internet bisa membuat segala sesuatu ada dalam genggaman tangan.  Akan tetapi, jika orang lapar, orang tidak makan pulsa dan internet.  Orang belum bisa menghubungkan dirinya dengan listrik untuk charge jika lapar.  Orang masih akan kembali makan makanan yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, yang semuanya tersedia di kampung melalui pertanian, peternakan, dan perikanan.

Rasa sayang pada Maluku, rasa bangga pada Maluku, rasa kalesang pada Maluku, tidak cukup di bibir,  di status facebook, atau di kaos T'shirt.  Kita butuh tindakan konkrit yang revolusioner dalam hal mandiri pangan.

Pemerintah provinsi Maluku, dua walikota, dan sembilan bupati di Maluku, berpotensi untuk menjadi pelopor dalam hal  menuntun orang Maluku kembali kepada pangan lokal yang membanggakan.  Misalnya, untuk makan-minum pada semua acara pemerintahan,  wajib terdapat penganan dari bahan non terigu.  Terigu boleh tetap ada, tetapi jangan dominan.

Pada tingkat rakyat jelata,  mari kita lupakan makan dengan sombong di KFC, Pizza hut, dunkin donats, sambil menyedot soda pakai pipet plastik.  Boleh makan-minum ke tempat seperti ini  untuk sekadar merasakan sensasinya, tetapi jangan lupa bahwa minum air kelapa muda yang gratis di kampung, bukanlah kampungan.

Ada banyak sensasi di kampung. Kopi rarobang,  kopi jahe, bakar batu, gula tare, koyabu, enbal bubuhuk, bakasang, laor garam, cincau, lat, sabeta, mas ngur, lutak-lutak, pom-pom,  katuk, ganemu, matel, sungga-sungga perempuan, tebu-tebu, paku-paku, kohu-kohu, telur ikan, tai minya.  Semuanya ada di kampung dan sudah lama kita remehkan sebagai makanan hina dina.   Padahal, apa yang kita makan secara gratis ini,  justru sangat mahal dan mewah di tempat lain.

Mari bebaskan diri dari penjajahan pangan di muka Bumi.  Sudah lama kita di Maluku dikenal sebagai penghasil buah coklat tetapi kita tidak terlalu nodek dengan coklat.   Justru kalau ada saudara dari Belanda, datang membawa coklat, kita berebut coklat dengan rasa mewah.  Ah, mungkin kita bukan doyan coklat, melainkan doyan  Belanda.

Nyanyian orang Kei yakni Aroan Sir-Sir, adalah ekspresi sukacita yang dengan bangga menyajikan makanan enbal bubuhuk, sayur daun enbal dan bunga pepaya, ikan bakar, dan sambal dalam lagu.  Beberapa lagu oleh biduan Ambon-Lease juga mengekspresikan hal yang sama.

"Mari katong pi masohi 
tanam kasbi di Hinamutu e
Orang lain sudah pigi dari pagi
Kamuka tanam e

Kalau sudah abis tanam kasbi e
Uwa-uwa sudah taruh makan e
Papeda dingin bungkus
Ubi panas-panas, ikan kuah 
dan sageru e"

Rasakan lagu lama Mari Katong Pi Masohi tersebut di atas. Tangkap pesan sosiologisnya yang tersirat sekaligus dalam menu makan di kebun.  Lantas, satu lagu lain yang tidak kalah menarik adalah Papeda Dingin.

``Papeda dingin kuahnya tomi-tomi 
campor bakasang raci cili padis
itu makanang, kami anak Maluku..
papeda dingin barandang kuah
ikang asar sapotong jua
rasa satu mau dua``

Ayo, mari makan sagu dengan bangga, kurangi terigu.  Jangan biarkan sagu berbunga lalu kering begitu saja.  Kalau kita sudah sayang sagu, kita akan sayang pula päda makanan tradisi lainnya.

Catatan ini adalah sebuah tulisan sia-sia, apabila di dalam diri orang Maluku, terutama kawula milenial, terdapat paham bahwa makan sagu adalah kampungan dan bikin malu.  Mari bertanya, kapan terakhir kali makan sagu? Dalam seminggu, berapa kali makan sagu? Apakah di dalam rumah, saat ini ada sagu? Atau, barangkali ale malu makan sagu?

Ambon, 22 Mei 2019

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post


Tidak ada komentar:

Posting Komentar