Kamis, 30 Mei 2019

Jakarta Kacau Balau, Aceh Merdeka

Buletinnusa
Jakarta Kacau Balau, Aceh Merdeka
Muzakir Manaf, mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di depan pendukungnya.
Klaim kemenangan yang sedang berlangsung dan secara kualitas tidak ada capres menguasai mayoritas Provinsi telah membuka pintu konflik. Konflik horizontal sesama pendukung maupun konflik vertikal tampak begitu jelas akan terjadi. Meski terlalu dini mengatakan bakal terjadi 98 kedua, namun hal itu bukan mustahil.

Bahkan bukan mustahil konflik bakal terjadi di seluruh Indonesia. Satu-satunya Provinsi yang bakal tidak terjadi konflik adalah Aceh. Namun demikian, Aceh bisa jadi punya agenda lebih besar ketimbang meributkan siapa capres. Bila Jakarta sibuk berebut kuasa apalagi muncul konflik, maka wajar bila Aceh memisahkan diri dari negara induk.

Secara tertib administrasi, Aceh sudah pantas dan mampu. Aceh sudah memiliki kendaraan politik (parlok), bendera, dan sumber daya alam maupun manusia yang cukup. Pemerintah Indonesia, terutama Jokowi yang kalah di Aceh, pasti senang melepas Aceh. Suara mayoritas rakyat Aceh menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap Jokowi rendah.

Baca juga: Indonesia Akan Dijajah Asing, Mualem Serukan Referendum Rakyat Aceh

Meski Jokowi sangat sering datang ke Aceh bahkan jalan tol dibangun, akan tetapi suara rakyat Aceh tak menginginkan Jokowi lagi. Bukan berarti rakyat Aceh juga cinta Prabowo. Andai Prabowo kandidat inkumben, rakyat Aceh juga bakal tidak memilih Prabowo. Aspirasi ini menunjukkan bahwa rakyat Aceh sebenarnya enggan bersama pemerintah Jakarta.

Hal itu makin diperparah ketika hari ini elite di Jakarta sibuk berebut kuasa sementara sumber daya alam terus dikuasai asing. Bukan antiasing atau investasi, akan tetapi peminat sumber daya alam harus hormati tuan rumah. Aksi mahasiswa Aceh yang mengusir PT EMM adalah akumulasi rasa kecewa kepada pusat, bukan antiinvestor.

Rakyat Aceh terbuka dengan semua investor asalkan investasi bukan cara menjajah dengan uang. Asalkan investasi menguntungkan rakyat Aceh dan investor, bukan keuntungan segelintir saja. Catatan ini perlu disampaikan agar tidak salah paham dengan gerakan mahasiswa. Aceh tidak antiasing, bahkan yang beda agama pun hidup damai di Aceh.

Aceh hanya ingin kesempatan yang sama dengan bangsa lain di dunia. Bila negara sibuk dengan kekuasaan sementara anak negeri di ujung Sumatra dibiarkan berjuang melawan korporat asing, maka jangan salahkan bila anak negeri ini memisahkan diri.

Sekali lagi, Aceh bukan antiasing maupun investasi, hanya saja Aceh ingin menjadi daerah yang memanusiakan manusia. Ketika pusat begitu mudah memasok korporat asing maupun domestik tanpa memikirkan nasib rakyat Aceh, ketika itulah sisi manusia rakyat Aceh disadarkan.

Lihat ini: Naskah Perjanjian Damai Antara GAM dan Pemerintah RI (Bahasa Indonesia)

Rakyat Aceh makin sadar bahwa ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Aceh hanya menguntungkan sekelompok 'bajingan', hanya menambah pundi-pundi politisi 'nakal'. Wajar bila gerakan mahasiswa hanya awal dari sebuah kesadaran kolektif bangsa Aceh.

Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, demikian KBBI mendefinisikan negara. Pertanyaannya kemudian, pemerintahan bagaimana yang harus ditaati?

Praktis hari-hari belakangan ini Indonesia tanpa sebuah pemerintahan. Indonesia, termasuk di dalamnya presiden, parpol, oposisi, dan aparatur negara, sedang 'mabuk' kekuasaan.

Bila nanti Jakarta benar-benar kacau balau, semoga tidak, maka relakan saja Aceh menjadi negara baru. Biarkan rakyat Aceh mendirikan sebuah negara yang mengatur kedaulatannya sendiri, dan tetap akan menjadikan Indonesia sebagai 'saudara tua'.

Saya percaya, Jakarta sejatinya sepakat Aceh menjadi negara baru bila Aceh tidak memiliki sumber daya alam melimpah. Andai Aceh tidak memiliki minyak, gas, batu bara, emas, perak, apakah Jakarta mau ngotot mempertahankan Aceh? Apalagi dengan hasil pilpres hari ini; ingatlah bahwa rakyat Aceh bukan tak ingin Jokowi, namun tak ingin menjadi bagian NKRI.

Salahkah sikap itu? Bisa jadi salah. Akan tetapi, ketika kita membaca Pembukaan UUD 45, sangat jelas dikatakan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Sebagai sebuah bangsa, Aceh halal untuk merdeka. Kalaupun Jakarta tak ingin begitu, bukan berarti mereka berhak memaksa.

Perolehan suara Jokowi yang minoritas, sekali lagi, memberi jawaban apa yang sebenarnya diinginkan Aceh. Kemenangan Prabowo yang mayoritas bukan karena geliat tim pemenangannya. Praktis tim Prabowo tak perlu kampanye di Aceh. Rakyat Aceh hanya ingin perubahan. Kalaupun tak mampu dilakukan Prabowo, maka biarkan Aceh menentukan takdirnya sendiri.

Baca ini: Petisi 1.8 di Dewan HAM, Mahasiswa Aceh Desak Tim Pencari Fakta ke Papua

Ketika nanti Jakarta dan kota-kota besar kacau balau dan negara dalam keadaan darurat, memberi kebebasan kepada rakyat Aceh merupakan solusi cerdas. Meski mustahil, namun konflik bersenjata selama 30 tahun harusnya jadi pelajaran penting bagi Jakarta. Harusnya Jakarta mempertimbangkan kembali keikutsertaaan Aceh dalam negara Indonesia.

Jakarta harus berani membuktikan tanpa Aceh negara Indonesia masih ada. Jika tidak berani melepas Aceh, berarti Jakarta tidak mampu membuktikan hal itu. Dalam situasi negara, terutama Jakarta, diambang perang sipil, ada baiknya Jakarta mengurangi bebannya. Salah satunya memberikan Aceh jalan keluarnya sendiri.

Ya, ketika Jakarta kacau balau karena perebutan kursi, maka wajib bagi Aceh untuk menjadi negara berdaulat!


Posted by: Don Zakiyamani
Copyright ©Qureta "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar