Sabtu, 18 Mei 2019

Tragedi Salah Paham Bahasa, 1913: Doktor Botani Terbunuh Di Ambon

Buletinnusa
Dr Charles Budd Robinson (www.findagrave.com)
Laporan Rudi Fofid-Ambon

Ambon, Malukupost.com - Ahli botani kelahiran Kanada Charles Budd Robinson sangat akrab dengan penduduk Ambon.  Usianya 41 tahun, dan gemar bertualang di hutan maupun kampung terpencil. Anak-anak suka membantu penelitiannya. 

Saking akrab, orang Ambon menjulukinya Doktor Bunga.  Hal ini berkaitan dengan aktivitasnya meneliti tumbuh-tumbuhan.  Pekerjaannya persis sama dengan yang pernah dilakukan pendahulu yang masyur,  George Everardus Rumphius.

Justru di lokasi penelitian, di tengah orang-orang  yang dicintai dan mencintainya, Robinson terbunuh.  Kematiannya yang tragis  sungguh mengejutkan dan menimbukan keheranan. Bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi?

Surat kabar The New York Evening Telegram edisi Kamis, 23 Desember 1913, menggegerkan warga Amerika Serikat, terutama kalangan ilmuwan karena kabar kematian yang dirilis, hari itu. 

Koran itu menulis judul berita,  "U.S. Government Botanist Killed By Savages".  Ada dua sub judul yang mencolok di bawahnya.  Pertama, "Charles Budd Robinson Slain by Natives of Amboyna Island, Malay Archipelago".  Kedua, "Was Studying  the Flora for Science Bureau".

The New York Evening Telegram 

Sebenarnya, siaran berita ini cukup terambat.  Koran The New York Evening Telegram menyebutkan, kabar terbunuhnya Robinson diterima dari Manila. Padahal, Robinson tewas pada hari Jumat, 5 Desember 1913, atau 18 hari yang sudah lewat.

``Dia terbunuh dalam usia 41 tahun.  Tidak ada laporan resmi tentang kematiannya,`` tulis koran tersebut.

Sebuah berita dari ujung dunia, diterbitkan ribuan mil dari tempat kejadian menjadi dramatis dan sadis, terutama menggunakan kata "Savages" dan "Natives of Amboyna".  Pembaca pasti menangkap kesan liar dan tidak beradab dalam diri penduduk Ambon, pada awal abad ke-21· 

Media Online Maluku Post menelusuri sejumlah dokumen arsip.  Tulisan Charlotte Rowley (2012)  berjudul ``On the murder of Dr Charles Budd Robinson`` cukup gamblang memaparkan tragedi tersebut.

Charlotte mengawali laporan dengan menyebutkan,  dirinya jarang menemukan arsip dokumen dari Filipina, Malaysia, dan Indonesia untuk kasus pembunuhan seperti ini.   Akan tetapi, dalam kasus  Robinson, dia menyebutkan tragedi tersebut sebagai benturan budaya, dan dampak kolonialisme Bangsa Eropa. 

Robinson lahir di Nova Scotia,  Kanada, 26 Oktober 1871 dari ayah Charles Budd dan ibu Frances Robinson. Sebab itu, namanya kerap ditulis Charles Budd Robinson Jr. Dia dikenal sebagai ahli botani dan penjelajah Kanada.

Gelar sarjana diperolehnya dari Universitas Dalhousie, tahun 1891,  dan mengajar di Kentville dan Pictou. Gelar doktor diraih di Universitas Columbia, tahun 1906.

Robinson mengabdi di New York Botanical Garden atau NYBG (1903-1908).  Setelah itu,  dia bekerja dengan Biro Ilmu Pengetahuan di Manila.  Sempat kembali ke NYGB tahun 1911, lalu sekali lagi ke Manila untuk melanjutkan penelitian.

Pada tahun 1913, Robinson memulai eksplorasi botani di Pulau Ambon.  Dia mendapat tugas mempelajari flora Amboina bersama  rekannya Elmer Drew Merrill.

Asisten Residen Amboina Mr van Dissel membuat laporan tertulis kepada Residen Amboina Mr Raedt van Oldenbarnevelt.  Dari sinilah terungkap, ihwal kematian Robinson.

MUSIM POTONG-POTONG KEPALA

Robinson dilaporkan hilang pada 11 Desember 1913. Orang-orang memberi informasi, dia berjalan berkeliling di hutan-hutan Ambon.   Semula, orang menyangka Robinson mengalami kecelakaan atau tersesat.  Mereka tidak terlalu cemas sebab sudah biasa melihat Robinson bepergian ke berbagai pelosok Ambon.

Dalam laporannya, Asisten Residen Ambon van Dissel  merinci, pada hari Jumat, 5 Desember 2013, Robinson tiba di sebuah pemukiman terpencil.  Di sana, ada seorang pria remaja dari warga Buton Ambon sedang memanjat pohon kelapa.

Melihat Robinson berdiri di bawah pohon kelapa, remaja itu ketakutan. Dia tidak biasa melihat orang kulit putih berada di kampungnya.

Remaja itu bergegas turun dari pohon kelapa.  Dia pun berlari pulang ke pemukiman.  Kepada orang-orang di kampung, pemuda itu mengatakan, dia dikejar orang Eropa.

Robinson tidak pernah tahu.  Laporan pemuda tadi telah menyebabkan geger orang kampung.  Berkembanglah desas-desus,  sang Doktor Kembang  ini seorang pemburu tumbuh-tumbuhan, atau ternyata pemburu kepala manusia.

Istilah orang potong kepala sudah dikenal pada masa itu, sebagaimana rumor yang sama di berbagai belahan wilayah Nusantara.  Ada kepercayaan, bahwa bulan November-Desember adalah musim orang potong kepala. Sebab itu, orang-orang cepat menyimpulkan bahwa Robinson adalah seorang pemburu kepala manusia.

Robinson ternyata mengikuti pemuda tanggung itu.  Ketika sampai di pemukiman, Robinson meminta minum.  Seorang perempuan memberinya segelas air.

Kepala pemukiman yang mendapat cerita pemuda tadi, langsung mengambil kapak.  Dia mengutarakan niatnya kepada seorang warga.

"Ada orang Eropa yang berbahaya.  Dia mau potong kepala kita. Saya akan bunuh dia," kata sang kepala kampung.

Dibantu lima orang dewasa, kepala kampung itupun melaksanakan niatnya.  Robinson tewas.  Tubuhnya dibungkus daun kelapa, diikat dengan batu, dan ditenggelamkan di laut.

'Kemalangan ini tidak akan pernah terjadi pada  Robinson andai dia bepergian ditemani seseorang.  Saya bisa paham bagaimana kesan orang di tempat terpencil terhadap orang Eropa," tulis van Dissel.   
Van Dissel menambahkan, penduduk tentu ketakutan terhadap penampilan Robinson yang berbeda.  Dengan busana dari kain khaki warna coklat, topi kecil di kepala, dan membawa sejenis pisau berburu, penampilan Robinson berbeda dengan orang Eropa umumnya.

``Dia terlihat seperti seorang narapidana,`` kata seorang warga sebagaimana ditulis van Dissel.

POTONG KELAPA VS POTONG KEPALA
Makam Memorial di Nova Scotia (finfgrave'

Setelah kematian Robinson,  beredar kisah di balik tragedi ini.   Semua itu bermula dari kebingungan dalam Bahasa Melayu.  Robinson sebenarnya hanya meminta pemuda itu untuk "potong kelapa". 

Akan tetapi dengan penguasaan Bahasa Melayu yang minim, Robinson telah salah ucap sehingga menimbulkan salah sangka pemuda tadi, karena Robinson meminta ``potong kepala``  pemuda itu.

Dalam suratnya, van Dissel menyebutkan, anak-anak Ambon selalu datang kepada Robinson.  Mereka membawa spesimen tanaman untuk koleksi herbarium yang dia kerjakan.  Kebaikan dan keramahan Robinson menimbulkan penyesalan di antara penduduk Ambon atas kematiannya .

Berdasarkan laporan van Dissel, selanjutnya Residen Amboina Mr Raedt van Oldenbarnevelt menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.  Dia menulis semacam peringatan tentang bahaya miskomunikasi. 

``Robinson sangat mencintai orang di sini, seperti juga mereka mencintainya. Dia selalu sangat  ramah dalam kunjungan ke pedalaman Ambon.  Saya sering menasihati untuk tidak pergi sendirian  karena Bahasa Melayu Robinson sangat buruk,`` papar van Oldenbarnevelt, sebagaimana dimuat dalam artikel Charlotte.

Pada tahun 1917, rekan Robinson yakni  Elmer Drew Merrill menerbitkan buku berjudul "Interpretation of Rumphius's Herbarium Amboinense di Manila".   Buku setebal 595 halaman ini memang digagas awal oleh Robinson.

Pada halaman persembahan buku tersebut, Merril menulis: Dipersembahkan untuk mengenang Charles Budd Robinson, Jr.  Lahir di Pictou, Nova Scotia, 26 Oktober 1871, meninggal di Amboina, 5 Desember 1913.

Tidak ada referensi memadai yang menjelaskan di mana Robinson tinggal di Ambon, dan di pemukiman mana dia dibunuh.  Sebab itu, banyak orang Ambon tidak mengenal nama Robinson.

Sebuah makam untuk mengenang Robinson, justru dibuat di kampung halaman kelahirannya.  Makam memorial terdapat di  Taman Makam Saint James, Pictou, Nova Scotia, Canada. 

"Membaca kisah pembunuhannya, kita bisa mengerti bahwa miskomunikasi itu, sanggup membawa kematian," demikian ditulis Charlotte Rowley. 

Sumber
1. Charlotte Rowley, 20/09/2012, On the murder of Dr Charles Budd Robinson,  www.kew.org.
2. www.findagrave.com
3. www.botanicus.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar