Selasa, 28 Mei 2019

Puisi Ayah Oleh Anak SD Di Ambon Dan Kei

Buletinnusa
Catatan ini saya tulis untuk memprovokasi anak-anak SD. Orang dewasa yang membaca tulisan ini, kiranya mau memperlihatkan kepada anak-anak di rumah, agar terbit niat menulis. Mungkin dengan cara menulis, mereka bisa bebas dari monster gawai dan game online.
Latifa Putri Pratami Bahasoan dan Josefa Mazmur Fofid Renwarin
Catatan Rudi Fofid-Ambon

Catatan ini saya tulis untuk memprovokasi anak-anak SD.  Orang dewasa yang membaca tulisan ini, kiranya mau memperlihatkan kepada anak-anak di rumah, agar terbit niat menulis.  Mungkin dengan cara menulis, mereka bisa bebas dari monster gawai dan game online.

Pekan lalu, saya mendapat kiriman dua puisi sekaligus, pada hari yang sama, Selasa 21 Mei.  Puisi pertama dari gadis cilik Latifa Putri Pratami Bahasoan di Ambon.  Tami, masih duduk di kelas lima sekolah dasar.  Judul puisinya, Ayah.

Puisi kedua datang dari Tual.  Pengirimnya Josefa Mazmur Fofid Renwarin. Jo, baru duduk di kelas dua sekolah dasar.   Judul puisinya Papa.

Saya tidak tahu, ini petanda apa, tetapi Tami dan Jo menulis puisi pada secarik kertas, dan menggunakan pensil.  Sungguh klasik.

Tami dan Jo belum pernah bertemu dan tidak saling kenal.  Maklum, keduanya hidup di kota berbeda, meskipun ayah Tami yakni Mey Bahasoan dan saya saling kenal.

Pada hari yang sama, Tami dan Jo menulis tentang sosok ayah.  Bagi Tami, puisi Ayah adalah puisinya yang kedua, setelah sehari sebelumnya dia menulis puisi berjudul Ibu.

Sedangkan Jo baru pernah menulis puisi.  Ia terdorong menulis puisi karena kakaknya Helena Victoria yang sudah duduk di bangku SMP, sering menulis puisi.

Mari kita baca puisi Tami dan Jo, melihat imajinasi,  kecerdasan  sekaligus kejujuran yang sederhana sekaligus mewah pada diri anak-anak.

Latifa Putri Pratami Bahasoan
AYAH

Ayah, aku sayang ayah
Sayang ayah lebih dari angka 100
yang aku dapat di sekolah
Aku ingin  membuat ayah bahagia
Seperti ayah bahagia
Ketika melihat kerang-kerang indah
di bawah laut
Aku ingin membuat ayah bangga padaku
Seperti ayah bangga
Ketika ayah tiba di puncak gunung
Terima kasih ayah
Karena ayah selalu ada untukku
Saat suka maupun duka

Ambon, 20 Mei 2019

Saya suka pengandaian yang digunakan Tami.  Nilai 100 untuk ujian di sekolah adalah nilai tertinggi dan sempurna.  Akan tetapi, cinta pada ayah dilukisnya melebih nilai sempurna itu.

Tami tentu belum pernah membaca karya penyair Iran Amir Rahimi berjudul Ibu.  Akan tetapi pendekatan Tami, sungguh mirip dengan apa yang dilakukan  Rahimi yang menabrak batas maksimum yang sulit dipahami dalam realitas. 

Bandingkan apa yang ditulis oleh Tami dengan Rahimi.  Terjemahan bebas puisi Rahimi, sebagai berikut:

Maafkan aku, Izaac Newton
Kau bilang gravitasi Bumi sangat kuat
Tetapi ketahuilah, daya tarik ibuku jauh lebih kuat

Maafkan aku, Thomas Alva Edison
Listrik temuanmu terangi Bumi
Tetapi nur cahaya ibuku, jauh lebih benderang

Meskipun Tami baru kelas lima SD, namun dia punya keinginan untuk bikin ayah bahagia dan bangga.  Dia sangat paham sang ayah pegiat organisasi pecinta alam, sehingga laut dan gunung adalah dunia ayah.  Tami menggunakan dunia ayah untuk merefleksikan keinginannya.

Tami menutup puisi dengan alasan mencintai, membahagiakan dan membanggakan dengan kalimat sakti:

Karena ayah selalu ada untukku
Saat suka maupun duka

Sungguh bahagia anak-anak yang sanggup merasakan kehadiran sosok orang yang dicintainya saat suka maupun duka.  Boleh jadi, secara fisik orang tinggal berjauhan, tetapi secara batin, tetap terjalin intim.  Jauh di mata, dekat di hati.

Meskipun masih pemula di usia dini, Tami sudah paham tentang pengandaian yang membentuk majas.  Ada dua kali Tami menggunakan kata "Seperti".  Bacalah:

Aku ingin  membuat ayah bahagia
Seperti ayah bahagia
Ketika melihat kerang-kerang indah
di bawah laut

Juga pada bagian berikutnya:

Aku ingin membuat ayah bangga padaku
Seperti ayah bangga
Ketika ayah tiba di puncak gunung

Begitulah Tami dengan kejujuran puisi anak-anak.  Tami sudah memulai puisinya secara sistematis. Ada kerangka pikir yang dibangun secara rapi.

Bagaimana dengan Jo?  Kita baca dulu puisi perdananya.

Josefa Mazmur Fofid Renwarin
PAPA 

Papa kau andalanku
Kau selalu baik padaku
Kaulah papa yang sangat baik
Kau papa yang baik hati
Kau papa yang terhebat
Meskipun kau di mana
Aku selalu merindukanmu
Meskipun kau ada di Ambon
Aku selalu menyayangimu
Kalau kau datang di sini
Aku sangat bahagia
Kau adalah pahlawanku

Tual, 21 Mei 2019

Jo tentu berada dalam pengaruh Doa Kerahiman Ilahi. Dia akrab pada lukisan Yesus dengan sinar merah dan biru memancar.  Di bawah lukisan itu, terdapat tulisan "Yesus, Engkau Andalanku".

Perjumpaan dengan lukisan dan tulisan tersebut membuat dia pinjam pakai tulisan itu.  Gampang saja.  Yesus, Engkau andalanku, disadur menjadi Papa kau andalanku.  Jiplak? Tidak!  Jo adalah anak-anak  yang tidak punya niat jahat merampok karya orang demi keuntungan pribadi.  Jo berada dalam dunia kerahiman itu, dan kalimat terkenal itu pun menjadi andalannya.

Saya suka puisi Jo pada baris awal dan baris akhir.  Kalau dua kalimat itu didekatkan maka jadilah:

Papa kau andalanku
Kau adalah pahlawanku

Justru Jo menyelipkan perasaan-perasaannya di antara baris pembuka dan penutup.

Ada baris lain yang cukup nakal, untuk seorang anak yang baru pernah menulis puisi yakni:

Meskipun kau di mana
Aku selalu merindukanmu
Meskipun kau ada di Ambon
Aku selalu menyayangimu

Jo tahu persis, papa ada di Ambon, tetapi  ia mendahului dengan tidak terus-terang, yakni:

Meskipun kau di mana 

Baris ini ditulis tanpa tanda-tanya karena bukan pertanyaan.  Jo mengulang kalimat yang sama pada bagian berikut, tetapi sudah menyebut lokasi:

Meskipun kau ada di Ambon

Meskipun sama polos dan sederhana, ada dua hal yang sangat prinsip berbeda antara Tami dan Jo.  Tami sudah sampai pada level dewasa.  Dia sudah ingin membahagiakan ayah, ingin bikin papa bangga.

Berbeda dengan Jo.  Jo sungguh masih anak-anak yang butuh cinta besar.  Dia menulis secara terbalik dari Tami.  Tami ingin membuat ayah bahagia sedangkan Jo ingin mendapat kebahagian dari papa.  Jo memakai pengandaian yang popular yakni, logika  jika-maka:

Kalau kau datang di sini
Aku sangat bahagia

Kalimat ini dibaca: Kalau kau (papa) datang di sini (Tual, tempat tinggalnya), (maka) aku (penyair) sangat bahagia.

Itulah Tami dan Jo.  Tami baru menulis dua puisi, sedangkan Jo baru menulis satu puisi.

Nah, bagaimana dengan anak-anak Maluku seusia Tami dan Jo?  Semoga minat dan bakat pada dunia tulis-menulis akan tersalurkan berkat bantuan orang tua dan guru.

Pada dasarnya, anak-anak punya bakat untuk mengarang.  Mereka punya imajinasi yang hidup.  Tinggal dibimbing, diberi ruang, diberi penghargaan yang pantai.

Apresiasi kecil ini saya tulis sambil berharap anak-anak Maluku mau menekuni dunia sastra.  Ada orang sudah jadi sarjana baru mulai menulis puisi, namun ada yang masih SD dan SMP sudah menulis puisi.

Sosiawan Leak, sosok penyair dari Solo yang memimpin gerakan nasional Puisi Menolak Korupsi, justru sudah kuliah baru menulis puisi perdana.  Sekalipun demikian, melalui puisi, para koruptor seluruh Indonesia bisa gementar karena gerakan yang dipimpinnya.

Beda dengan penyair milenial paling populer dari Tanah Seram, Eko Saputra Poceratu.  Eko sudah menulis puisi sejak masih duduk di bangku SMP.  Kini Eko dikenal di kancah nasional dan internasional karena puisi.

Ayo orang tua, berikan kertas dan pensil.  Provokasi mereka menulis puisi.  Atau kalau anak sudah akrab dengan dawai, ajak dia menulis puisi, bukan  tenggelam di dalam game online.

Apapun karya anak-anak, berikan apresiasi yang cukup.  Orang tua juga dapat membantu membuat arsip sehingga karya anak-anak tidak terbuang.  Arsip itu akan berguna untuk proses kreativitas, karena akan menjadi artefak pribadi dalam riwayat hidupnya. 

ANET, PENULIS CERPEN

Sambil menulis catatan ini, saya teringat kepada bocah perempuan Zaneta P. Pattiasina.  Anet, biasa disapa, masih duduk di kelas 4 SD.  Anet tinggal dengan ibunya Dr Mariana Lewier di Kusu-Kusu Sereh, Ambon. 

Anet sudah menulis beberapa cerita pendek.  Salah satu cerita pendek Anet yang pernah saya baca berjudul Memiliki Sepeda Baru.  Dengan kecerdasan khas anak-anak, Anet menulis dengan bahasa yang lancar, plot mengejutkan, karakter tokoh, konfik, penyelesaian konfik.  Ada tema dan amanat.

Meskipun ibunya seorang doktor sastra dari Universitas Indonesia dan menjadi dosen sastra di FKIP Ambon, Anet tidak menulis cerita pendek berdasarkan teori dari sang ibu,

``Beta belum sempat kasih petunjuk teoritis kepada Anet,`` kata Mariana Lewier kepada saya.

Demikianlah Tami, walau ibunya Shelvia Hatala seorang penulis, kakak dan papa Jo juga penulis, mereka tidak diberi beban teori menulis sama sekali.  Tulis saja!

Selamat untuk Tami,  Jo, dan Anet.  Tulis terus!  Kali ini cerita tentang puisi Tami dan Jo.  Lain waktu, saya ingin menulis tentang cerita pendek karangan Anet.

Ayo anak-anak Maluku! Mari menulis.  Modal menulis antara lain, baca, baca, dan baca.  Dengan membaca kita menulis.  Dengan menulis, kita membaca.

Salam Literasi!

Ambon, 29 Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar