Kamis, 21 Maret 2019

Petisi 1.8 di Dewan HAM, Mahasiswa Aceh Desak Tim Pencari Fakta ke Papua

Buletinnusa
Mahasiswa di Aceh mendesak Komisi HAM PBB mengirim tim pencari fakta untuk menelusuri kemungkinan adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Aceh -- Mahasiswa Aceh mendesak Komisi HAM PBB mengirim tim pencari fakta untuk menelusuri kemungkinan adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di sana. Masalah di Papua, terutama Papua Barat saat ini memang tengah disorot para pegiat HAM.

Mahasiswa yang tergabung dalam lembaga Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) ini menyebut sejumlah kejadian di Tanah Cendrawasih bak tertutup kabut. Harus ada pihak independen yang menyibak kabut tersebut agar semua menjadi jelas.

"Jika tidak, mata dunia akan tertutup dari apa sebenarnya yang terjadi di Papua Barat. Silahkan negara mau menyebut ada kelompok terorganisir yang dinilai bertindak subversif di sana, namun jangan tutupi mata dunia dari sejumlah insiden yang bisa saja masuk dalam kategori pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM sistematis," tukas Engga Pratama, dalam aksi yang digelar di Simpang Pelor Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Senin, 18 Maret 2019.

Untuk diketahui, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, pernah mengkritik dua kandidat Capres-Cawapres Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandiaga. Dia menyebut, isu dugaan pelanggaran HAM di Papua termasuk salah satu isu krusial namun tidak disinggung sama sekali oleh kedua kandidat.

Sementara itu, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dikabarkan telah menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan kepada Komisioner Badan HAM PBB, Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019 lalu. Petisi ini berisi permintaan referendum kemerdekaan.

(Baca ini: Petisi Referendum Kembalikan Papua di PBB )

Selain isu Papua, SMUR menyorot sejumlah isu lainnya, termasuk di antaranya, menolak apa yang mereka sebut wacana kebangkitan kembali dwifungsi TNI di Indonesia. Wacana ini mengemuka sebagai terkait rencana penempatan perwira TNI di sejumlah posisi sipil.

"Dwifungsi TNI dalam jabatan sipil mencederai cita-cita reformasi yang didengungkan lebih kurang 20 tahun silam. Kita juga meminta pelanggaran HAM di masa konflik Aceh diusut tuntas," sebut Ketua SMUR Aceh Barat, Masykur Nyak Di Jurong, kepada Liputan6.com, di sela aksi, Senin siang (18/3/2019).

Selain menyinggung dampak kehadiran sejumlah perusahaan tambang di Aceh yang mereka tuding menyebabkan kerusakan dan mencemari lingkungan serta membunuh kehidupan ekonomi masyarakat, Masykur menyinggung sengketa penguasahaan lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di sejumlah kabupaten yang ada di Aceh.

"Kita mendesak penyelesaian konflik lingkungan dan dampak debu dari stockpile atau lokasi penumpukan batu bara PLTU Nagan Raya dan PT MIFA Bersaudara di Suak Puntong dan Peunaga Cut Ujong. Kami menolak perusahaan tambang PT EMM di tanah Beutong Ateuh Banggala dan tanah Gayo, Aceh Tengah," imbuh Masykur.

Adapun sengketa lahan yang dimaksud Masykur terjadi di 4 kabupaten, yakni Nagan Raya, Abdya, Aceh Tamiang, dan Bireuen. Dengan Rincian, antara masyarakat 4 desa di Kabupaten Aceh Tamiang dengan PT Rapala, yakni, Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I, dan Tanjung lipat II.

Masih di Aceh Tamiang, sengketa lahan perkebunan terjadi antara warga Desa Sungai Iyu dengan PT Rapala. Berikutnya, antara masyarakat Krung Simpo, Kabupaten Bireuen dengan PT Syaukat Sejahtera, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya dengan PT Dua Perkasa Lestari, terakhir, antara Desa Cot Mee, Kabupaten Nagan Raya, dengan PT Fajar Baizury & Brother's.

Menurut Masykur, sengketa lahan perkebunan yang berkepanjangan itu, menyebabkan sekitar 4 ribuan warga menjadi korban. Kondisi tersebut dipicu lahan wilayah kelola masyarakat dengan total luas 3.334 hektare masuk ke dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit.

(Baca juga: Sofyan Yoman: ULMWP & Petisi 1.8 Juta Menggugat PBB dan Indonesia)

Selain itu, sengketa lahan berkepanjangan mengakibatkan 58 warga di 3 wilayah konflik, yakni, Kabupaten Aceh Tamiang, Bireuen, dan Nagan Raya dikriminalisasi sejak 2015 hingga saat ini. Dari jumlah tersebut, 34 orang di antaranya dipidana dengan tuduhan menduduki dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin sedang 23 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka sejak Juni 2018.

"Sengketa agraria khususnya di Aceh perlu diselesaikan melalui program reformasi agraria dan seharusnya menjadi harapan baru bagi masyarakat, termasuk mengenai keterbukaan informasi mengenai Hak Guna Usaha (HGU) sesuai dengan mandat Mahkamah Agung," harap Masykur.

Sebagai catatan, SMUR merupakan lembaga yang terkenal menyuarakan berbagai isu sosial di Aceh. Lembaga ini lahir di tengah konflik Aceh pada 18 Maret 1998 silam.

Selain aktif mendesak agar prajurit nonorganik atau Bawah Kendali Operasi (BKO) ditarik dari Aceh, SMUR saat itu turut mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk ikut dalam gelombang massa reformasi pada 1998 silam.

(Baca ini: Sofyan Yoman: ULMWP & Petisi 1.8 Juta Menggugat PBB dan Indonesia)


Copyright ©Liputan6 "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar