Sabtu, 23 Maret 2019

SENSASI SOPI

Buletinnusa
Puisi ``Sopi Untuk Rudi Fofid`` di atas ditulis oleh Eko Saputra Poceratu, penyair kelahiran Tihulale, Seram Barat. Puisi ini dimuat dalam Antologi Puisi Penyair Maluku "Biarkan Katong Bakalae" (Kantor Bahasa Maluku, 2013). Eko adalah satu dari penulis muda paling cemerlang di Indonesia Timur versi dewan kurator Makassar International Writers Festival 2017.
OPINI RUDI FOFID
SOPI 
Untuk Rudi Fofid

Kakak, mari kita minum sopi
Sopi adalah darah kita
yang tercurah dari mata air Tala 

Dan merasuki bibir langit
lalu melegakan tenggorokan tanahmu


Ayo kakak, kita minum sopi

Sopi adalah air susu ibu
yang diperas dari puting nenek moyang
dan merasuk ke dalam lambungmu


Mari kita teguk, kakak

Satu tempayang sopi mayang
Satu tempayang sopi kelapa
Di sanalah akan kita temui mantra-mantra
Tentang surga dan akhirat
Tentang nafas tiap mata rumah

Mari teguk, kakak

Semakin banyak semakin sehat
Semakin banyak semakin hangat
Seperti dilumuri minyak zaitun
Seperti dimandikan minyak kayu putih
Siapa mau menyangkal?
Dia dikutuk datuk-datuk.

Ambon, 14 Juli 2013

Puisi ``Sopi Untuk Rudi Fofid`` di atas ditulis oleh Eko Saputra Poceratu, penyair kelahiran Tihulale, Seram Barat.  Puisi ini dimuat dalam Antologi Puisi Penyair Maluku "Biarkan Katong Bakalae" (Kantor Bahasa Maluku, 2013).  Eko adalah satu dari penulis muda paling cemerlang di Indonesia Timur versi dewan kurator Makassar International Writers Festival 2017.

Apakah calon pendeta ini sedang memprovokasi dan merayu saya atau pembaca puisinya agar menjadi peminum sopi dan pemabuk?  Tentu tidak.  Eko adalah seorang adik yang tidak minum sopi, dan paling keras melarang saya minum sopi. 

Dalam puisi ini, Eko menggunakan diksi ``sopi`` sekadar mewakili segala tradisi nenek moyang, berupa kebudayaan yang luhur agar kita tetap peluk teguh sebagai kearifan tradisional.  Diksi "sopi" dipakai Eko, sebab sopi memang fenomenal, bahkan sensasional. 

Tulisan ini memang merespon isu sopi yang sedang menjadi bahan baku malawang, pro-kontra, aksi-reaksi pasca demonstrasi GMKI Cabang Ambon ke Kantor Gubernur Maluku dengan tuntutan ``Selamatkan sopi, legalkan sopi``.

Sopi itu legal atau ilegal? Halal atau haram? Baik atau buruk? Lestarikan atau musnahkan? Berdamai dengan sopi atau perang lawan sopi? Ini pertanyaan-pertanyaan yang beterbangan hari-hari sepekan ini.  Kita butuh membebaskan pikiran sementara dari ikatan apapun, untuk kemudian menapaki tingkat-tingkat berpikir secara tenang dan sederhana, kendati masalah sopi (dan minuman beralkohol) tidaklah sederhana.

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk apresiasi terhadap tulisan-tulisan yang baik pada akun facebook Rudi Rahabeat, Jusnick Anamofa, Robert Baowollo, dan Jopie Papilaya.  Tentu juga didorong oleh banyak sekali komentar pro dan kontra yang memang butuh dipuaskan.

PASCA AIR BAH SAMPAI MITOLOGI HAINUWELE

Sebelum menukik ke topik sopi, baiklah kita mundur jauh ke belakang. Dalam kitab genesis, Alkitab Perjanjian Lama,  setelah peristiwa air bah, Nabi Nuh adalah petani anggur pertama.  Ia juga minum anggur. Ia pun mabuk, sampai tidur dalam kemah dengan aurat yang terlihat anaknya (sila baca naskah lengkap pada Perjanjian Lama).

Dalam Injil, Alkitab Perjanjian Baru, Yesus bersama ibu-Nya hadir dalam perkawinan di Kana.  Ketika melihat pesta kekurangan anggur, Bunda Maria berbisik kepada Yesus.

"Mereka kehabisan anggur!"

Maka mujizat pertama jadilah.  Yesus mengubah air menjadi anggur, sekalipun sebenarnya Yesus sendiri agar "berat hati" sebab waktu untuk berkarya belum tiba. 

Penggalan kisah Nabi Nuh dan Yesus disodorkan di sini bukan menjadi alasan suci demi pembenaran minum dan mabuk anggur, bir,  drygin,  vodka, sageru, sake, ballo, ciu, cap tikus, sopi, dan sebagainya.   Dua kutipan ini hanya menjadi pengingat bahwa perkenalan manusia dengan minuman keras sudah sangatlah tua.

Kisah paling tua dalam mitologi paling populer dari Pulau Seram adalah kemunculan gadis Hainuwele dari tetesan darah Ameta.  Ameta memotong bunga tanaman ajaib, kelapa, tetapi tangannya teriris dan mencucurkan darah. Jejak darah pada bunga dan daun kelapa berubah menjadi Hainuwele.  Dalam versi lain kisah yang sama, darah Ameta menetes ke dalam sageru yang sudah ditampung dalam bambu. Artinya, sageru sudah ada dalam mitologi Maluku. 

Ketika Bangsa Portugis dan Belanda tiba di Maluku, mereka menemukan tradisi yang sudah hidup dalam masyarakat. Portugis melafalkan sageru sebagai sagueiro, sedangkan orang Belanda menyebut sageru (dan sopi) sebagai palmwijn, dengan penjelasan ``wijn van de gemutu-palm`` (VOC Glossary Indonesia, 2018).

Pada tahun 1735,  Johannes Burman (1707–1779) mendapat izin VOC untuk menyiapkan naskah penerbitan buku karya George Everardus Rumphius. Ia lantas menerjemahkan bahasa Rumphius yang puitis dan berbunga dari Bahasa Belanda ke Bahasa Latin.

Gaya bahasa Rumphius nan elok dapat dilihat pada deskripsi tentang pohon mayang (aren, enau) alias Arenga pinnata.  Rumphius melukiskan dengan kata-kata sebagai berikut:  ``Pohon ini laksana wujud seorang petani mabuk yang baru siuman dengan pakaian lusuh dan rambut acak-acakan. Memang, pohon ini memiliki rupa paling buruk dibandingkan pohon lain``.

Catatan Rumphius juga menjelaskan tentang aren yang memang sudah dikenal dalam masyarakat Maluku.

Di Maluku, sageru dan sopi dikenal pada banyak pulau, dari hasil menyadap nira dari pohon aren (misalnya di Seram), pohon kelapa (Kei Besar), dan pohon koli (Kisar). Sageru manis dikonsumsi sebagai minuman segar. Sageru pahit diminum sebagai minuman keras, sedangkan fermentasi sageru menghasilkan cuka, dan ragi pembuat kue.  Sageru juga dimasak sampai menghasilkan gula merah, dan yang paling sensasional sageru disuling mengasilkan sopi.

Sopi digunakan dalam ritual adat, dalam jumlah secukupnya. Sopi juga dikonsumsi sebagai minuman penghangat badan, penambah nafsu makan, dan bahan campuran makanan dan minuman. 

Sopi yang dikonsumsi dalam jumlah tanpa batas, biasanya muncul dalam pesta-pesta.  Dalam pesta tujuh hari tujuh malam yang berujung pada pembunuhan Puteri Hainuwele, ada kemungkinan besar, pria-pria yang cemburu karena gagal mendapatkan Hainuwele, juga sudah mengkonsumsi sopi secara berlebihan. Merekalah yang menjebak dan mengubur Hainuwele hidup-hidup.

Dalam kisah-kisah Kakehan yang dilakoni kelompok masyarakat Patasiwa Hitam, selalu ada pesta.  Setiap kali anggota baru kakehan, ripane, menjalani satu fase penggodokan seperti potong rambut, papar gigi, potong kepala, dan sebagainya, selalu diakhiri dengan pesta kakehan.  Para ripane wajib ikut dalam pesta.  Pesta ditandai dengan tarian cakalele dan maku-maku.  Cakalele dalam iringan tifa, gong, tavuli bambu, atau tahuri kulibia. Para penari bersuara dengan teriakan "haaa" dan "hiii".  Sangat mungkin mereka juga minum sageru atau sopi.

MEMORI DALAM PUISI DAN LAGU

Kisah-kisah Maluku yang mistik dan magis, tersebar dalam riwayat datuk-datuk nenek moyang, sejarah asal-usul, peperangan, migrasi, dan ritual-ritual. Penyair Chairil Anwar melukiskan suasana ke-Maluku-an, dalam puisi "Cerita Buat Dien Tamaela". Ada bagian tentang pesta:

Mari menari
Mari beria
Mari berlupa  

Diksi "berlupa" dalam bait di atas, tentu sebagai satu kesatuan dari "menar" dan "beria".  Ini pesta.  Dalam pesta, ada sukacita, ada tarian, dan "berlupa".  Berlupa adalah meninggalkan semua urusan apapun dan tetaplah pada pesta.  Di dalam pesta, berlupa adalah lupa segala masalah, segala urusan, dan bahkan segala kesusahan.  Supaya bisa "berlupa" dan lupa diri, tidak ada cara lain selain minum sageru atau sopi sampai mabuk. 

Lagu-lagu Maluku dalam bentuk kapanya, menyimpan lirik sukacita sageru. 

SAGERU MANIS PAIT 

Sageru manis pait

Sageru manis pait
Sapuluh sen harga satu botol
Rame rame minum sampe
Mabo (tralala)
Mabo (tralala)
Mabo (tralala)
Rame rame minum sampe mabok
E mabo tralala

Sageru manis pait
Sageru manis pait
Sapuluh sen harga satu botol
Rame rame minum sampe
Mabo (tralala)
E mabo (tralala)
E mabo (tralala)
Rame rame minum sampe mabok
E mabo tralala

Lagu Sageru Manis Pait, walaupun liriknya melukis suasana rame-rame minum sampe mabok (level) tralala, tetapi lirik yang ditulis oleh Anonimous ini, cukup disiplin menjaga makna agar tidak ke mana-mana.  Hanya sukacita yang terpancarkan, walaupun  ada kata-kata vulgar yang tidak terelakkan yakni sageru, minum, mabok.   Lagu Sageru Manis Pait, masih terasa "damai".  Suasana tersebut berbeda pada lagu yang paling baterek. Beta Mabo Masa Bodo karya Kenny B. dan Iren S, yang dilantunkan Roy Saklil.

BETA MABO MASA BODO

Biar orang bicara, beta mabo

Biar orang carita, beta mabo
Biar orang seng suka, beta mabo
Orang kiri kanan carita, beta mabo

Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Memang beta mabo (beta mabuk buk buk)
Masa bodo

Biar mau tatikang kapala, beta mabo
Biar kamong mau marah, beta mabo
Biar kamong seng suka,  beta mabo
Orang kiri kanan carita, beta mabo

Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Memang beta mabo (beta mabuk buk buk)
Masa bodo

Mungkin kamong yang bicara, kamong yang mabo
Beta mabo, masa bodo
Kamong jua mabo, mangiri bodo-bodo

(Hei 
Ayo, beta mabo e
Lalu barang pusing apa deng kamong?
Heh, kamong kasih uang par beta minum?
Gile, ayo minum, minum, minum, minum
Minong la katong mau pulang, tidor, haha
Sapa mau larang sapa?)

Biar orang bicara, beta mabo
Biar orang carita, beta mabo
Biar orang seng suka, beta mabo
Orang kiri kanan carita, beta mabo

Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Memang beta mabo (beta mabuk buk buk)
Masa bodo

Biar mau tatikang kapala, beta mabo
Biar kamong mau marah, beta mabo
Biar kamong seng suka, beta mabo
Orang kiri kanan carita, beta mabo

Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Memang beta mabo (beta mabuk buk buk)
Hei, Masa bodo

Mungkin kamong yang bicara, kamong yang mabo
Beta mabo, masa bodo
Kamong jua mabo, mangiri bodo-bodo

Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Beta mabo (beta mabuk buk buk, beta mabuk)
Memang beta mabo (beta mabuk buk buk)
Plis deh, mau bobo, ayayayaaawww

Dua lagu di atas, dalam suasana abad lalu, yang tentu saja sangat berbeda situasi.  Ambon atau kampung-kampung, adalah satu pemukiman kecil.  Semua orang saling kenal.  Kalau ada acara minum-minum sopi, pasti karena ada pesta.  Orang minum sopi tidak pada segala waktu.  Para peminum adalah orang dewasa, bukan kalangan remaja.  Kalau pun ada yang minum berlebihan, maka akan ada banyak orang yang mengurus. 

MILENIAL: MABUK, RODA DUA, ASPAL

Situasi hari ini, abad ke-21, suasana sudah sangat lain.  Kota makin berkembang, penduduk makin banyak, transportasi dan komunikasi sudah sangat lancar, dinamika penduduk sudah mirip metropolitan kecil.  Sepeda motor sudah ada pada hampir setiap rumah.  Para peminum sopi, bukan lagi monopoli kaum bapak, melainkan sudah turun ke tingkat pemuda dan remaja. 

Dalam situasi globalisasi dalam genggaman, relasi sosial antar individu makin renggang dan tidak intensif.  Telah muncul satu generasi yang sangat independen dan liberal dengan gawai di tangan.  Tidak ada yang melarang sebab seorang remaja sudah sangat bebas nian.  Minum sopi, tidak harus ada pesta.  Kapan dan di manapun, para remaja sudah bisa mengusahakan sebotol sopi dan sudah punya tempat nongkrong sendiri yang jauh dari pengawasan orang tua. 

Dalam keadaan sudah kenyang minum sopi, pemuda dan remaja masih percaya diri dengan mengendarai sepeda motor.  Kasus kecelakaan tunggal maupun tabrakan dengan pengendara dan pejalan kaki, sudah sangat tinggi.   Belum lagi kekerasan fisik dalam keadaan mabuk.  Tidak sedikit yang meregang nyawa setelah minum sopi dan mabuk.

Menurut data Dirlantas Polda Maluku, sepanjang tahun 2018 jumlah orang meninggal di jalan raya akibat lakalantas sebanyak 179 orang dan luka berat 250 orang.

Dirlantas Polda Maluku Kombes Heru Tri Sasono  menjelaskan, tingginya angka korban meninggal dunia di jalan disebabkan oleh berbagai faktor, seperti minuman keras, kondisi jalan, ugal-ugalan, dan kurangnya kesadaran pengguna jalan saat berkendara. (Kompas.id/Rahmat Rahman Patty).

LAPORAN MEDIA YANG MENDEBARKAN

Media-media di Maluku senantiasa melaporkan peristiwa dengan latar situasi mabuk·  Lihat saja judul-judul berikut ini:

1. Seorang Pemuda di Ambon Tewas Ditembak Oknum Polisi Mabuk (Kompas.id,  22 November 2018).
2. Alva Patah Tulang Akibat Ditabrak Orang Mabuk (Ambon Ekspres, 19 Januari 2019).
3. Mabuk, Kakek Cabuli Cucunya Di Kamar Mandi (Rakyat Maluku, 4 Maret 2019).
4. Ngeri! Pemotor Mabuk Tewas Setelah Adu Banteng dengan Toyota Avanza (Motorplus-Online.com, 16 Maret 2019).
5. Mabuk Picu Bentrokan di Sirimau, Satu Luka (Pamanawanews.com, 27 Maret 2018)
6. Laka lantas di Ambon tewaskan pengendara mabuk (Antara, 16 Maret 2019).
7. Mabuk, Pemuda Masohi Tewas Menabrak Pohon (Kabar Timur,  14 Januari 2019).
8. Mabuk, pegawai Pemkot Ambon cabuli balita (Merdeka.com, 2 Mei 2014).
9. Anggota TNI Tewas Ditikam Pemabuk (Viva.co.id, 17 Juni 2012).
10. Kapolda Maluku Geram Anak 2 Tahun Di Malra Diperkosa Orang Mabuk (Suarakarya.id, 31 Desember 2018).

DOMINASI MINUMAN KERAS TRADISIONAL

Sebuah penelitian kesehatan dasar tahun 2007 dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menggunakan sampel yang sama dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2007 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Sebanyak 258.284 (93,0%) dari 277.630 rumah tangga dan 986.532 (85,9%) dari 1.148.418 anggota rumah tangga Susenas 2007.

Laporan penelitian ini ditulis oleh Suhardi dari Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epideminologi Klinik.  Laporannya memaparkan, prevalensi penduduk lelaki Maluku di atas 15 tahun yang minum alkohol  sebesar 11,9 persen.  Dengan angka ini, Maluku berada pada level tinggi (10,0-19,9%) bersama  Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat. Ada tiga provinsi dengan prevalensi tertinggi di atas enam provinsi ini yakni, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. 

Jenis minuman yang dikonsumsi  dapat diklasifikasi atas empat bagian besar yakni bir, likuor, wine, dan  minuman keras tradisonal.  Kelompok likuor antara lain  vodka, gin, baijiu, tequila, rum, wiski, brendi, soju, dll. 

Dari 372 responden di Maluku, proporsi jenis minuman yang dikonsumsi adalah peminum bir sebanyak 13,6%, likuor 5,2%,  wine 2,4%,  dan minuman keras tradisional sebangsa sopi sebesar 77,8%.   Jumlah ini tergolong tinggi bersama provinsi lain yakni Kalimantan Barat 86,6%, Sumatera Utara 80,1%, Nusa Tenggara Timur 80,0%, Maluku Utara 79,2%,  Sulawesi Selatan 75,7%, Bali 66,0%,  Sulawesi Tengah 57,0%, Kalimantan Tengah 55,6%, Sulawesi Utara 54,9%, Papua Barat 36,5%, dan Papua 32,5%.

TUNTUTAN GMKI 

Para kader GMKI melakukan aksi demonstrasi di Kantor Gubernur Maluku, yang kemudian bentrok dengan aparat keamanan.  Hari itu juga, reaksi pro dan kontra bermunculan di media sosial. 
Saya mengerti latar belakang dan tujuan aksi GMKI di Ambon (Sebagai pembanding, baca juga tulisan Jusnick Anamofa dengan kata kunci kapitalisme, dan tulisan Ikhsan Tualeka dengan kata kunci keadilan).  Saya mengerti bahwa adik-adik di GMKI tidak tahan melihat sopi yang diperas dengan susah payah oleh orang kampung untuk jadi kepeng, ditumpahkan begitu saja oleh aparat keamanan.  Bukan sekali, melainkan berkali-kali. Bukan sebotol, tetapi ribuan liter. 

Kalau sudah sampai pada aksi polisi tumpah sopi, maka kita akan tiba pada pertanyaan alasan polisi melakukan semua itu. Apa dasar hukum polisi berbuat  itu, sebagaimana polisi akan mengajukan pertanyaan yang sama secara terbalik.  Alasan apa berdagang sopi.  Di sinilah akan muncul kata "legal" atau "tidak legal".

Jika sopi adalah bahan ilegal, polisi dan pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi tentang dasar hukumnya kepada konsumen, pedagang pengecer, distributor, sampai produsen.  Dengan demikian, semua pihak dalam rantai minuman keras sopi ini bisa tahu diri, sadar diri, sadar hukum, bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang salah menurut hukum di republik ini.  Tunjukkan undang-undang, tunjukkan peraturan daerah, tentang larangan produksi, larangan distribusi, larangan menyimpan, larangan mengkonsumsi. 

Jika minuman keras tradisional sopi benar-benar dilarang karena ada dasar hukum yang jelas dan terang benderang, maka persoalan yang muncul sebagaimana bagian dari tuntutan GMKI adalah, di manakah keadilan itu?  Minuman keras tradisional Maluku dilarang tetapi kelompok bir,  likuor, dan wine adalah legal.  Kelompok minuman keras tradisional adalah minuman produksi dalam masyarakat Maluku, sedangkan kelompok bir, likuor, dan wine, adalah minuman luar, manca negara, asing, dan boleh bertakhta sebagai minuman legal dan mulia di hadapan negara ini?

SOPI HARAM

Menyikapi demo GMKI, ada reaksi dari Ust. Arsal Tuasikal melalui akun facebook berbunyi begini:
``UMAT ISLAM MALUKU TIDAK AKAN PERNAH SETUJU SOPI/TUAK LEGAL...SOPI HARAM ITU HARGA MATI. (VIRALKAN``.

Tulisan singkat padat jelas oleh Ust. Arsal Tuasikal di atas, tidak sekadar sebuah sikap pribadi.  Sudah jelas bahwa dalam Islam, semua minuman yang memabukkan sebagai kelompok khamar, adalah haram.  Sopi itu memabukkan, makanya haram dalam Islam.

Periksa saja sikap akhir dan pandangan   fraksi-fraksi partai berbasis Islam terutama PPP yang sudah lama berkutat dengan perda-perda minuman keras.  Sikap partai selalu bersumber dari Alquran, dan semua sudah jelas, bahwa sopi dan minuman alkohol lain yang memabukkan adalah haram.

Dengan begitu, kalau sudah jelas status haram, maka apa yang ditulis oleh Ust. Arsal Tuasikal tidak perlu diperdebatkan, apalagi sampai mengolok-olok status beliau sebagai ulama.

PERDA MALUKU, HALAL-HARAM, LEGAL-ILEGAL

Tiga tahun sebelum Orde Baru tumbang, sesungguhnya DPRD Maluku telah membuat sebuah langkah maju yang cukup penting dalam hal ini.   DPRD Maluku memasukkan bab khusus di dalam Perda yang mengatur minuman keras tradisional.  Di seluruh Indonesia, perda-perda hanya mengatur minuman-minuman golongan A, B, C dan tidak sampai minuman keras tradisional.  Sebab itu,  lahirnya Perda Nomor 3 Tahun 1995 tentang Pengendalian dan Penertiban Minuman Keras di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku adalah sebuah sejarah dan prestasi DPRD, ya bapak-bapak kita, waktu itu.

Sebelum Perda Nomor 3 Tahun 1995 tentang Pengendalian dan Penertiban Minuman Keras di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku, DPRD lebih dulu membentuk sebuah pansus kecil.  Pansus terdiri dari tiga orang yakni Drs Suyatno (Islam), Edyson Betaubun (Protestan), dan Joseph Hubertus Watratan (Katolik).  Pansus sengaja terdiri dari tiga orang dengan agama berbeda.  Mereka masing-masing  ``pulang`` ke lembaga agama, dan meminta pendapat ulama. 

Kesimpulan pansus tersebut, alkohol dalam kadar berapapun dalam minuman, selama itu dapat memabukkan, maka dalam Islam tetaplah haram sehingga tidak perlu diatur dan dikendalikan.   Sedangkan bagi Protestan maupun Katolik,  alkohol dalam kadar tertentu dan volume tertentu, adalah bagian dari kesucian perjamuan kudus sehingga perlu diatur dan dikendalikan.

Hasil kerja pansus ini kemudian disampaikan ke semua fraksi.  Dalam rapat paripurna, Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Demokrasi, dan Fraksi ABRI menyatakan menyetujui ranperda menjadi perda.  Fraksi Persatuan Pembangunan tetap bersikukuh menolak ranperda tersebut.   Karena mayoritas fraksi menyetujui dan hanya satu fraksi menolak, maka lahirlah perda tersebut. 

Sejak Perda Nomor 3 Tahun 1995 tentang Pengendalian dan Penertiban Minuman Keras di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku ditetapkan, maka sejak itu pula minuman keras tradisional di Maluku seperti sopi, adalah minuman yang legal.  Gubernur diberi kewenangan untuk membina dan mengawasi produksi hingga retribusi, sehingga aspek kesehatan dan keamanannya terjamin.  Meskipun gubernur tidak melakukan apa-apa terhadap minuman keras tradisional, tetapi setidaknya dalam status legal di hadapan perda, tidak terjadi sesuatu musibah yang memporakporanda atau berkah yang melimpah ruah.  Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Perda ada dan tidak ada, sama saja.  Disebut legal atau tidak legal, sama saja. DIsebut halal atau haram, semuanya mengalir begitu saja. Orang masak sopi, orang mabuk,  orang mabuk baku pukul, orang mabuk baku tabrak di jalan lalu mati, semua mengalir begitu saja.

PERDA LARANG SOPI 

Perda tinggalan orde baru itu, berusia 13 tahun.  DPRD Maluku kemudian menetapkan Perda Maluku Nomor 16 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, dan Peredaran Minuman Beralkohol, sekaligus mencabut perda lama.

Dalam Perda Maluku Nomor 16 Tahun 2008 Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, disebutkan minuman beralkohol tradisional adalah minuman beralkohol yang diproduksi oleh masyarakat, industri rumah tangga, pengrajin minuman dan makanan yang belum terdaftar pada Departemen Kesehatan.

Pada Pasal 18,  yang terdiri dari dua ayat, disebutkan:
(1) Minuman tradisional (sopi) dilarang diedarkan dan diperjualbelikan;
(2) Minuman tradisional (sopi) hanya dapat digunakan untuk keperluan upacara-upacara adat sepanjang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat dan mendapat izin pihak kepolisian.

Perda ini bernasib buruk sebab pada tahun 2013, terbitlah Perda Maluku Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencabutan Perda Maluku Nomor 16 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian dan Peredaran Minuman Beralkohol.  Alasan yang disebutkan adalah perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga harus dicabut.

Barulah tahun 2015, terbit Perda Maluku Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.  Apa istimewa perda ini?  Perda ini tidak mengatur tentang minuman keras tradisional.  Perda ini hanya mengatur tentang minuman keras golongan A, B, dan C, dan ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan yang jumlah dan peredarannya dibatasi.  Inilah prinsip barang tertutup, tidak untuk seluruh rakyat, seluruh agama, seluruh usia, karena sifat-sifatnya yang berbahaya, dan haram bagi agama Islam.

Meskipun tidak mengatur minuman keras tradisional secara istimewa seperti minuman beralkohol yang diimpor dari luar negeri sebagai minuman beralkohol golongan A, B, dan C,  pada perda ini, Pasal 1 Ketentuan Umum angka 27, disebutkan:

"Peraturan daerah ini berasaskan:
a. Kemanfaatan
b. Kepastian hukum, dan
c. Keadilan.``

Syukurlah bahwa asas keadilan masih ada di sini.  Menurut bagian penjelasan perda ini, huruf c, yang dimaksud ``asas keadilan`` adalah bahwa unsur keadilan harus dilaksanakan dalam rangka penegakan hukum terhadap perilaku menyimpang setiap individu yang telah melakukan penyalahgunaan konsumsi minuman beralkohol, namun di sini lain, kepentingan sosial ekonomis dari masyarakat petani yang selama ini sebagai penghasil minuman beralkohol menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan pohon aren atau sagu, harus diperhatikan oleh pemerintah daerah.

Apa arti penjelasan ini?  Tidak jelas.  Demi keadilan, pemerintah daerah harus memperhatikan masyarakat petani yang selama ini sebagai penghasil minuman beralkohol.  Bentuk perhatiannya seperti apa? Batas perhatiannya seperti apa? Tidak jelas.  Apakah mengalihkan mereka ke bidang usaha lain, atau membina produksi minuman keras tradisional supaya memenuhi segala syarat industri? Juga tidak jelas.  Kewenangan pemerintah daerah dan batas-batasnya bisa menimbulkan masalah baru.   Kalau tidak jelas, ragu-ragu. pemerintah daerah tentu lebih baik memilih mundur, diam, tidak bikin apa-apa, dari pada disalahkan nanti.   

JADI, HARUS BAGAIMANA?

Ryan Sander Malawat menulis pada akun facebook, sopi itu untuk diminum, bukan untuk diperdebatkan.  Saya tahu, Ryan bukan peminum sopi. Dia tidak sedang berada pada posisi membela sopi dan mengubah haram menjadi halal.  Ryan hanya sedang ``nakal`` memancing diskusi, melihat maraknya perdebatan pasca aksi GMKI Ambon. 

Melihat panorama sopi yang semarak, dan tidak sederhana memandang sopi, setidaknya kita paham beberapa hal yang tidak perlu diperdebatkan.

1. Sopi ada dan eksis dalam kehidupan sebagian komunitas masyarakat Maluku, tetapi perlu dikendalikan sehingga tidak sebebas-bebasnya secara liberal dan brutal. 

2. Sopi haram bagi umat Islam, sehingga produksi, peredaran, dan konsumsi, perlu mempertimbangkan keberadaan umat Islam dalam merawat iman dan aqidahnya.  (Bandingkan dengan hewan babi dan daging babi, yang diatur sedemikian selama ini sehingga tidak sampai memasuki dan merasuki kehidupan umat Islam).

3. Minum sopi secara berlebihan, akan menyebabkan mabuk. Mabuk akan membuat orang melakukan banyak hal di luar kendali kesadaran, termasuk aneka macam pelanggaran hukum dan tindak kriminal.

4. Cacat fisik, mental, dan kematian, kerugian material,  permusuhan dalam pergaulan dan relasi sosial, adalah serangkaian fakta yang pernah terjadi, dilakukan oleh para pemabuk, sehingga perlu dikendalikan, agar tidak terulang lagi kerugian sosial secara sia-sia.

5. Karena alasan 1 sampai dengan 5 di atas, maka sopi perlu diatur dalam peraturan daerah secara terang.

6.  Pemandangan saat ini sopi bisa dibeli di mana saja, di dekat sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, di pasar, di sisi jalan, taman kota,  semua ini karena tidak diatur oleh perda. 

7. Orang berkendaraan dalam keadaan mabuk dan terpengaruh minuman beralkohol, tidak ada aturannya sehingga perlu diatur dalam perda.

8. Pengawasan oleh masyarakat selama ini sangat kurang.  Masyarakat sangat permisif, dan nyaris tidak punya "otoritas sosial" untuk mengawasi orang yang minum di sembarangan tempat. 

9. Kalau sopi diatur perda, maka menjadi barang/bahan legal, tetapi tetap sebagai barang/bahan dalam pengawasan, yang terbatas, dan tertutup. 

10.  Kalau sudah diatur perda, maka sopi tidak bisa dijual di sembarang tempat, tidak bisa diminum kapan saja di mana saja oleh siapa saja.  Kalau diatur perda, maka tentu anak-anak remaja,  tidak akan bebas minum sopi. 

11.  Jika sopi tidak diatur dalam perda, maka tidak ada asas keadilan.  Sopi dilarang tapi minuman luar dimuliakan.  Ini inferior, menghamba pada asing sambil merendahkan masyarakat sendiri.

12. Jika tetap tidak diatur, maka sebaiknya semua jenis minuman yang mengandung alkohol di Bumi Indonesia,  dinyatakan terlarang sebagaimana narkoba.  Itulah keadilan sosial.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk  membuka ruang baku malawang yang tidak entos-entos.  Kalau ada bagian dari tulisan ini yang bertentangan dengan gagasan apapun, saya mengundang tanggapan dalam bentuk tulisan, jangan komentar pendek seperti andarinyo colo panta, yaitu semacam tuduhan pendek, tanpa penjelasan tuntas dan memadai.  Buatlah satu tulisan singkat yang utuh, dan elegan agar kita terbiasa baku buka pikiran, bukan baku tekan tutup prop.

Bagi mereka yang mendukung perlunya perda yang cukup detail, semoga bisa dibukakan satu ruang diskusi, agar kita bisa membuat semacam drafting ranperda, setidaknya memuat pembatasan-pembatasan yang tidak boleh luput jika perda diterbitkan.

Paling akhir, mari terus diskusi dan cukupkan sudah saling hujat.  Tidak usah hujat ulama yang menyebutkan sopi haram, tidak usah menyebut ketua GMKI sebagai manusia kaleng-kaleng.  Kalau ada ketelanjuran-ketelanjuran, mari katorang bakudapa, baku pegang tangan, dan stop baku marah.  Masih ada banyak hal substansial yang perlu kita kerjakan di Maluku yang miskin menurut statistik ini.

Musisi reggae, Dalens Utra dalam lagunya menyebutkan, minum sopi bikin damai. Sedangkan Hellas Group dengan Om Ondos, punya pesan cantik yang patut kita renungkan dalam lagu Ondos Mabo.

ONDOS MABO

Satu sloki, par sopu dada
Dua sloki, par tambah darah
Tiga sloki, mata su merah 
Ampa sloki, banya bicara

Lima sloki, lupa sudara
Enam sloki, su mandi darah 
Tujuh sloki, masu penjara
Lapan sloki, pikul ka dara

(Anak-anak sakarang, tagor dong
Kata dong jang minong, 
Sama juga deng, suruh 
Minum terus, sampe diam-diam
Delapan orang angka).

Salam budaya!
Ambon, 23 Maret 2019


(Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar