Jumat, 27 September 2019

Sepuluh Hal, Andai Gempa Dan Tsunami Di Ambon

Buletinnusa

Opini Rudi Fofid-Ambon

Tsunami besar pernah melanda Pulau Ambon 17 Februari 1674.  Rumphius menulis laporannya tahun 1675 dan baru diterbitkan tahun 1989 atau 300 tahun kemudian. Waktu itu, tsunami melanda Ambon Utara (Leihitu) namun tidak mencapai Teluk Ambon dan negeri-negeri Leitimur.  Korban jiwa waktu itu sebanyak 2.322 jiwa.  Kota Ambon hanya rusak karena gempa.  Istri dan dua puteri Rumphius meniggal dunia.

Gempa bumi yang tidak berpotensi tsunami di Ambon-Lease dan Seram sejak 26 September pagi sebesar 6.8  SR dan 235 rentetan sampai 27 September 2019, telah menimbulkan kepanikan luar biasa.  Kita berduka untuk seluruh korban jiwa, badan dan harta benda. 

Satu hal yang menonjol dalam gempa September ini adalah rasa panik.  Hal ini sangatlah manusiawi.  Meskipun demikian, rasa panik bisa dikelola, dikendalikan sehingga kita bisa lebih tenang menghadapi gempa bumi, termasuk juga bila terdapat potensi tsunami. Kita perlu membangun sikap menghadapi situasi kebencanaan yang kuat.

Berikut ini beberapa hal sebagai gagasan lapangan, yang dapat dilakukan agar kita  lebih tenang menghadapi situasi bencana, sambil berharap akan ada pendidikan kebencanaan yang lahir dari kalangan profesional.
 
1. Kita perlu sadar bahwa setiap manusia punya potensi dan kemampuan alamiah untuk hidup, bertahan hidup, menyelamatkan diri, baik secara biasa maupun secara  luar biasa.  Tanpa pertolongan siapapun, kita punya kemampuan menyelamatkan  diri sendiri, maupun orang lain. Bukti sederhana adalah menghadapi hujan deras. Jika hari hujan,  semua orang  (bahkan hewan)  punya mekanisme otomatis dan alamiah untuk menyelamatkan  diri.  Tidak ada orang yang berdiri basah-basah di tengah hujan sambil menangisi hujan.  Jadi, mari percaya bahwa jika ada ancaman tsunami, orang kita sanggup menyelamatkan diri.

2. Meskipun posisi Pulau Ambon dan pulau-pulau lain di Maluku berada di jalur Cincin Api yang rawan, tetapi Ambon adalah pulau yang cukup sempurna.  Hampir semua kampung berada di bibir pantai, di sekeliling Pulau Ambon. Jarak  bibir pantai ke daerah ketinggian, relatif sangat pendek sehingga tidak butuh waktu berjam-jam untuk mencapai ketinggian.   Hanya beberapa meniyt, kita bisa berjalan kaki dari bibir pantai ke satu ketinggian. Orang di Pelabuhan Hitu, dalam lima menit sudah sampai di kawasan SMP-SMA di sebelah atas.  Jika sudah berada di sana,  sudah sangat aman andai tsunami datang.  Orang di pantai Tulehu, dalam lima menit sudah  mencapai area kampus Darussalam.  Itu pun sudah aman.   Nah, setiap kampung di Pulau Ambon perlu membuat peta sendiri, supaya semua warga kampung tahu persis bagaimana menyelamatkan  diri secara tenang, jika ada ancaman tsunami. 

3.  Satu-satunya Wilayah yang datar, terbuka, dan relatif beda dengan semua kampung di Pulau Ambon adalah Negeri Passo.  Area genting berada di sekitar ACC sampai Pompa Bensin.   Ini titik "Pasoko", tanah genting, pembatas tipis antara Teluk Dalam dan Teluk Baguala.  Meskipun demikian, jika ada potensi tsunami, maka dalam 10-20 menit, warga sudah bisa pergi ke Toisapu secara tenang, terutama ke kawasan tempat pembuangan sampah.

4. Walaupun makanan, pakaian, perlengkapan hidup,  uang, ATM, dokumen,  surat berharga, harta , emas, semuanya sangat penting, harus diingat bahwa nyawa kita adalah segala-galanya.  Lupakan semua harta .  Selamatkan jiwa sendiri, orang terdekat, keluarga,  ke tempat yang aman.  Kalau punya persiapan, maka harus selalu tersedia semua benda berharga penting di dalam satu tas saja, sehingga saat meninggalkan rumah, hanya membawa satu tas/ransel karena semua sudah ada di dalamnya.

5. Setiap keluarga, membekali pengetahuan  memadai kepada setiap anggota keluarga.    Apabila berada dalam keadaan terpisah, dan tidak ada waktu untuk  berkumpul bersama, maka apa yang harus dilakukan setiap anggota keluarga. Ke mana  harus pergi, itu sudah harus menjadi wawasan. 

6.  Persoalan besar adalah arus lalu lintas seperti di Batumerah, Batumeja, Trikora, Batugantung.   Harus menjadi pengetahuan, komitmen, disiplin, gaya hidup, bahkan konvensi bahwa bila ada potensi tsunami, maka jalur lalulintas ke gunung hanya satu jalur.   Kendaraan di gunung tidak perlu ke dalam kota.  Hanya kendaraan dalam kota yang boleh pergi ke gunung.  Kalau terjadi posisi berhadapan, maka kendaraan dari gunung harus mengalah, minggir, stop. Jangan terjadi baku malawang. Hanya dengan cara begini, semua bisa selamat dan tidak terjadi buntu, macet total.  Biarlah semua selamat, dari pada semua terjebak di titik buntu. Jangan baku prop.

7.  Hal penting diingat: Bayi, anak-anak, orang sakit, penyandang disabilitas,  manusia usia lanjut, dan perempuan.  Semua kelompok ini adalah prioritas.   Masih teringat, di Negeri Lima beberapa tahun lalu, mobil pelat merah BNPB menolak memuat satu orang tua.   Untung ada truk perusahaan yang mau muat orang tua tersebut. Hal begini tidak boleh terjadi lagi pada masa depan. 

8.  Beberapa waktu lalu melalui koran Kabar Timur, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ambon  Demmy Paais mengatakan: "Jika ada gempa bumi yang rentangnya dua puluh detik berturut-turut itu pasti tsunami. Setelah itu masyarakat wajib tinggalkan bangun -bangunan bertingkat, hindari berada di bawa tiang listrik dan pohon. Diperkirakam dalam jangka waktu 20 menit berikut tsunami datang".  Semoga kode 20-20 ini bisa jadi pedoman.  Pastikan dalam 20 menit, sudah berada  di tempat yang aman.  Nah, sekali lagi di Ambon, semua tempat tinggi bisa dijangkau dalam tempo tidak lebih 20 menit dengan hanya berjalan kaki.

9. BMKG memang akan merilis peringatan "Berpoteni tsunami" atau "Tidak Berpotensi Tsunami".  Namun, jika terjadi gempa bumi yang keras dan lama,  jangan tunggu peringatan BMKG. Pergilah dengan tenang ke tempat tinggi, jika karakter bencana agak lama dan keras.  Bahwa kalau ternyata tidak ada tsunami, ya syukur.  Akan tetapi jika benar berpotensi  tsunami, kita sudah ada di tempat aman

10. Kalau harus melarikan diri, walau panik, jangan menjerit-jerit, berteriak-teriak, berbicara tidak perlu, karena bisa habis tenaga dan menularkan kepanikan.  Beri komando kepada orang terdekat saja, kecuali satu dua orang yang mengambil inisiatif memberi komando.  Pak Gubernur Maluku Karel Ralahalu saat evakuasi warga Negeri Lima,  menggunakan diksi sederhana namun sangat efektif:  "Pergi ke arah matahari nae".  Perintah jelas, sehingga semua orang bergerak ke arah Timur. 

Semoga sepuluh hal sederhana ini bermanfaat. Semoga BPBD dan BNPB akan membantu membudayakan tata cara menyelamatkan diri secara cerdas dan lebih sempurna menurut standar-standar yang teruji secara akademis, praktis, profesional. 

Mari percaya, "badai pasti berlalu" dan  "tak ada badai yang tak berhenti".  Dalam keadaan apapun, kita harus tetap tenang. 

Ambon, 26 September 2019

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar