FUNAFURI, Tuvalu - Pertemuan Pacific Island Forum (PIF) berlangsung di ibukota Tuvalu, Funafuti dari tanggal 13-16 Agustus 2019. Masalah West Papua masuk dalam satu agenda 'prioritas' yang dibahas pada pertemuan ini. Hal itu sesuai dengan penetapan hasil pertemuan para Menteri Luar Negeri PIF di Fiji pada 26 Juli 2019 lalu.
Setelah upacara pembukaan pertemuan tanggal 13 Agustus, hari kedua Rabu (14/08) pemimpin Forum bertemu dan berdialog dengan Organisasi Masyarakat Sipil Pasifik. Dalam sesi ini agenda West Papua mencuat, dimana sebagian besar negara-negara Pasifik angkat bicara tentang West Papua.
Tepat tanggal 15 Agustus 2019, pemimpin Pasifik duduk bersama dan membahas masalah West Papua. Fiji dan Australia sempat bersikap tetapi sikap sebagian besar negara-negara anggota Forum Kepulauan Pasifik mendukung West Papua, sehingga dua negara itu melunak.
Keputusan PIF menegaskan, meminta PBB segera mendesak pemerintah Indonesia untuk mengizinkan komisi HAM PBB mengunjungi Papua untuk melihat dan mendengar langsung situasi di sana. Dan sesuai dengan keputusan para Menlu PIF di Fiji, pemimpin Forum tegas memberi waktu kepada PBB sampai 2020, dengn menyatakan; hasil kunjungan Komisaris Tinggi HAM harus dilaporkan sebelum pertemuan PIF ke-51 2020 mendatang nanti.
Pemimpin Forum juga menyatakan, setiap pemimpin PIF berkewajiban untuk isu kejahatan kemanusiaan yang telah lama berlangsung di West Papua, untuk perlindungan nyata bagi rakyat Papua.
Kemudian mereka tegaskan, menemukan akar persoalan West Papua, dan membuka ruang perundingan konstruktif bagi Indonesia dan Papua berunding di bawah pengawasan PBB.
Berikut ini adalah isi komunike (keputusan resmi) oleh 18 negara anggota Forum Kepulauan Pasifik (PIF), pada pertemuan ke-50 itu.
Keputusan PIF tanggal 15 Agustus 2019
Lembaran Komunike Pertemuan Pacific Island Forum (PIF) di Tuvalu, (15/08). (doc. United Liberation Movement for West Papua) |
Translate Rangkuman;
Inti dari Komuniksi PIF nomor
KOMUNIKE 35:
a). Mayoritas pemimpin PIF mengakui adanya kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat Papua.
b). Pemimpin PIF mengatakan prihatin terhadap situasi tersebut.
c). Pemimpin PIF memiliki kewajiban moral untuk mengangkat isu kejahatan kemanusian yang telah berjalan cukup lama di Papua.
KOMUNIKE 36:
a). Mencari dan menemukan akar masalah,
b). Perlindungan nyata terhadap rakyat Papua,
c). Membuka ruang perundingan constructive bagi Indonesia dan West Papua untuk berunding di bawah pengawasan PBB.
KOMUNIKE 37:
37. Meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera mendesak pemerintah Indonesia, agar mengizinkan Komisi HAM PBB mengunjungi Papua untuk melihat dan mendengar secara langsung dari rakyat West Papua.
Tanggal 15
Dalam sejarah West Papua, tanggal 15 juga adalah waktu yang bertepatan dengan terjadinya New York Agreement tahun 1962, dimana Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia melakukan perjanjian atas status sengketa politik West Papua, yang berujung pada terjadinya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 yang penuh dengan cacat hukum dan cacat moral kemanusiaan, Indonesia hanya memilih 1.025 orang dan diadopsi dengan sistem Indonesia [sistem musyawara], kemudian menekan 1.025 orang peserta itu dengan todongan senjata, agar memili bergabung dengan Indonesia.
Dengan demikian, pada tanggal ini juga, di West Papua maupun di luar Papua, aksi serentak penolakan New York Agreement 1962 terjadi, yang berujung pada penghadangan dan penangkapan seluruh pemimpin dan massa aksi yang dilakukan oleh Polisi dan Pasukan khusus Indonesia. Aksi ini juga sekaligus mendukung pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang berlangsung di Tuvalu, dimana pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) selaku perwakilan West Papua untuk menyampaikan kepada Forum.
Posted by: Admin
Copyright ©tabloid-wani.com/viaULMWP on PIF "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Copyright ©tabloid-wani.com/viaULMWP on PIF "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar