Papua berintegrasi penuh dengan Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menghasilkan resolusi PBB 2504. Dalam perlaksanaannya hanya melibatkan 1025 orang Papua dari perkiraan populasi hak memilih saat itu 800.000 jiwa orang Papua. Sehingga resolusi ini haya sebagai catatan perjanjian, bukan pengesahan dari PBB.
Pada sidang umum PBB tahu 1969 hasil PEPERA masih dipandang bermasalah sehingga resolusi 2504 ini pun tidak pernah disahkan. Voting yang dilakukan waktu itu bukanlah pengesahan hasil Act of Free Choise (AFC) atau Pepera, tetapi voting untuk draft resolusinya. Dari hasil voting itu 84 negara menyetujui konsep resolusi, 30 negara abstain, dan tidak satu pun negara yang tidak menyetujuinya.
Resolusi tersebut berisikan dua butir:
Pada sidang umum PBB tahu 1969 hasil PEPERA masih dipandang bermasalah sehingga resolusi 2504 ini pun tidak pernah disahkan. Voting yang dilakukan waktu itu bukanlah pengesahan hasil Act of Free Choise (AFC) atau Pepera, tetapi voting untuk draft resolusinya. Dari hasil voting itu 84 negara menyetujui konsep resolusi, 30 negara abstain, dan tidak satu pun negara yang tidak menyetujuinya.
Resolusi tersebut berisikan dua butir:
- Catatan "take note" laporan dari sekretaris jenderal dan memahami dengan penghargaan pelaksanaan tugas oleh sekretaris jenderal dan wakil yang dipercayaakan kepada mereka sebagaiamana tercantum di dalam persetujuan tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda.
- Menghargai tiap bantuan yang diberikan melalui bank pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui cara-cara lain kepada pemerintah Indonesia di dalam usaha-usanya untuk memajukan ekonomi dan sosial di wilayah Irian Barat
Menurut Ismail Raja Bauw, resolusi ini merupkan political colution sebagai way out atas penolakan hasil PEPERA oleh anggota PBB. Sebagai pemecahnya, pemerintah Italia yang mewakili Eropa Barat mengusulkan agar dilakukan kesepakatan baru antara Indoesia dan Belanda dibahwah pengawasan PBB. Akhirnya, kesepakatan itu melahirkan suatu kesepakan baru disebuat dengan memorandum of Roma 1969.
Beberapa poin catatan:
- Pada sidang tanggal 13 November dan Sidang sesi pagi 19 November 1969 ketika membahas pelaksanaan ACF atau PEPERA berdasarkan laporan sekjen PBB tidak diambil keputusan politik tentang status politik Papua Barat. Banyak delegasi menolak pelaksanaan AFC ala Indonesia sehingga hasilnya pun di tolak. Karena itu tidak ada ratifikasi atau pengesahan hasil AFC atau PEPERA
- Resolusi PBB di atas didahului dengan beberapa catatan yang melegitimasi dua butir di atas (mengingat, setelah mendengar laporan sekjen...perhatian perjanjian New York..mengetahui rencana pembangunan Indonesia)
- Di dalam dua butir resolusi di atas tidak secara tegas mencatat bahwa PBB mengakui dan mengesahkan hasil Pepera ACF. Juga tidak ditegaskan Papua Barat dihapus dari daftar daerah dekolonisasi dan menjadi wilayah integral Indonesia.
- Didalam dua butir resolusi di atas hanya mengatakan pengakuan atas selesainya pelaksanaan tugas sekjen PBB berdasarkan persetujuan New York 1962 dan pemberian dukungan bantuan Internasional terhadap pembangunan Papua Barat melalui bank pembangunan Asia.
- PBB hanya mencatat resolusi tersebut dalam buku agenda PBB dengan nomor resolusi 2504 (XXIV) namun naskah resolusi tidak diratifikasi/ditandatangi oleh negara-negara anggota PBB.
Tunju saja, hal itu terjadi karena dalam sidang tersebut terjadi perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB terkait pelaksanaan Pepera di Papua. Selain itu juga, laporan hasil pengamatan PEPERA dari perwakilan PBB yang saat itu berada di Papua, Dr.Ortiz Sanz yang secara nyata mengatakan kekecewaannya dalam laporan yang disampaikan.
Selam ini tanggapan pemerintah Indonesia tentang hasil PEPERA Tahun 1969
Pemerintah Indonesia selalu memandang persoalan Papua telah finish melalui hasil PEPERA yang melahirkan resolusi PBB 2504. Dengan lahirnya rerolusi ini, pemerintah Indonesia beranggapan persoalan Papua sudah selesai melalui mekanisme Internasional. Semua persoalan yang menyangkut Papua tidak dapat diganggu-gugat oleh negara mana pun. Sekarang untuk menguji argument Indonesia ini, mari kita tinjau lebih jauh dari berbagai sumber.Keterlibatan militer saat PEPERA berlangsung di Papua
Berdasarkan surat telegram resmi Kol.Infan.Soepormo,Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih nomor:TR-20/Ps/PSAD/196,tertanggal 20-2-1967, dan juga dari Radio gram MEN/PANGAD No.:TR-228/1969 TBT tertanggal 7-2-1969: memperingatkan segala aktivitas dimasing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari angkatan darat maupun lainya. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA (Irian Barat) tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan–bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.Surat rahasia Komando Militer Wilayah XVII Tjendrawasih,Kolonel Infanteri Soemartono-NRP.16176,Kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969,Nomor:R-24/1969 Status surat rahasia,Perihal Pengamanan PEPERA di Merauke. Isinya dapat diringkas menjadi“Kami harus yakin untuk kemenangan ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa oleh karena itu saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia [1]
Penyesalan Perwakilan PBB, Dr.Fernando Ortiz Sanz dalam Laporannya.
Dalam raporan resminya pada sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan “Mayoritas orang Papua Menunjukan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka”Protes Negara-negara anggota PBB dalam sidang umum PBB tahun 1969
Dalam arsip resmi di kantor PBB New York Amerika Serikat 156 dari 179 pernyataan masih tersimpan,sampai pada tanggal 30 April 1969. Dari jumlah ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia dan 2 pernyataan Netral.Berdasarkan laporan dan keberatan-keberatan yang disampaikan Dr.Ortizan dalam sidang Umum PBB. Duta besar Pemerintah Gabon, Mr. Davin mengkritik sebagai berikut “Setelah kami mempelajari laporan ini ,utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawara rakyat Irina Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan–keberatan yang dirumuskan oleh Dr.Ortiz Sanz dengan kata-kata terakhir pada penutup laporannya. Kami harus menyatakan kejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti–bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan sekretaris Jenderal: Contoh kami dapat bertanya?
- Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak di pilih oleh rakyat?
- Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil,beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
- Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur dengan kata lain,oleh perwakilan pemerintah?
- Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon
- Mengapa prinsip“one man,one vote” yang direkomendasikan ole perwakilan sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
- Mengapa tidak ada perwakilan rahasia,tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
- Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil didepan umum dengan menyampaikan mereka bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
- Mengapa hak-hak pengakuan dalam pasal XXII(22) perjanjian New York,yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul tidak di nikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?
Protes pelaksanaan PEPERA dari pemerintah, sejarawan, dan akademisi
Pada bulan Juni tahun 1969 duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota tim PBB ,Ortiz Sanz secara tertutup (rahasia) ”95% orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua [2]. Lebih lanjut, Sudjarwo menyatakan banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia [3]Pada tanggal 14 Februari 2008, Eni F.H.Feleomavaega dan Donald Payne, Angota kongres Amerika Serikat melayankan surat kepada Sekjen PBB Ban Ki-Moon,”Referendum (PEPERA 1969) bagi orang asli Papua itu, dengan jelas menunjukan bahwa tidak pernah dilaksanakan. Sebelumnya juga 37 anggota konggres Amerika serikat telah menulis surat pada tahun 2006 kepada tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau kembali untuk melaksanakan Penerimaan PEPERA 1969. Bahkan jauh sebelum Itu pada tanggal 31 Januari 1969 parelemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang west Papua.
Ketidak jujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib sendiri orang-orang west Papua. Maka parlement Irlandia menyerukan kepada pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969
Pada tanggal 1 Desember 2008 di gedung parlemen Inggris London, Hon.Andrew Smith, PM dan The Rt.Revd.Loard Harries of Pentregarth dan 50 anggota parlemen dari berbagai negara menyatakan:
”Kami yang bertandatangan dibawa ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri karena masa depan mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 (act of Free choice 1969). Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur.
Seorang akademisi Inggris Dr.Salford, menyelidiki hasil pelaksanaan PEPERA dan 1969 menyatakan tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan. Orang–orang Papua Barat dilibatkan. Jadi PBB, Belanda, dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatangan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur.
Menurut Sejarawan Prof. Droogleve seperti dikutip Sofyan Yoman menyatakan “Pendapat pengamat barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada dibawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutkah untuk mendukung Indonesia” . Ini bertentangan dengan “…karakter nasional yang sama sekali berbeda, dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di kalangan orang-orang Papua”
Kesimpulan
Beberapa pendapat di atas dapat meyakinkan kita bahwa Pepera dilaksanakan hanya sebagai formalitas oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika dengan jargon di bawa pengawasan PBB. Terutama untuk kepentingan Indonesia dan Amerika. Dari tahun 1969 sampai dengan saat ini banyak organisasi pemerintah maupun non pemerintah dan bahkan negara-negara Afrika, Inggris, Amerika, dan Negara-negara pasifik yang mempertanyakan kelegalan pelaksanaan PEPERA pada tahun1969 di Papua. Jadi, bukan hanya orang Papua yang mempertanyakan kelegalan Pepera di Papua.Selain itu terbentuknya organisasi perlawanan, seperti OPM di Papua bukan merupakan organisasi teroris yang mengancam negara. Mereka (OMP) hanya masyarakat sipil yang sadar bahwa hak-hak mereka dimanipulasi melalui Pepera tahun 1969. Dan dalam tulisan ini secara nyata penulis tegaskan bahwa yang memicu terbentuknya OPM di Papua adalah Indonesia, Amerika, dan Belanda.
Mengapa demikian?
Kita secara sadar dapat mengetahui bahwa suatu wilayah atau daerah yang dianeksasi secara paksa akan tumbuh perlawanan dari masyarakat asli setempat. Dan untuk menangani perlawanan tersebut negara penjajah atau penguasa akan membuat dan menerapakan undang-undang sebagai dasar acuan bertindak.Ketika mereka yang kontra dengan kebijakan dan undang-undang negara tersebut. Negara yang berkuasa atau penenjajah akan memiliki kelegalan hukum untuk membunuh, dan memenjarakan mereka yang berlawanan dengan undang-undang tersebut. Dan ini bukan hal yang baru terjadi tetapi kita tahu di beberapa belahan dunia ini telah terjadi dan bahkan Indonesia sendiri saat dijajah Belanda pernah mengalami hal yang sama. Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa OPM berdiri akibat skandal besar yang di mainkan untuk kepentingan Amerika, Indonesia, dan Belanda dengan dalil PEPERA terlaksana melalui pengawasan PBB. Terutama, demi mengamankan kepentingan Amerika dan Indonesia agar memperoleh kelegalan hukum untuk membunuh dan memenjarakan Orang Papua.
Jadi dalam terbentukannya OPM, Indonesia dan Amerika sebagai subjek. Objeknya merupakan masyarakat yang tergabung dalam organisasi itu. Dengan demikian jelaslah bahwa Orang Papua tidak pernah membentuk OPM dan tidak ada musuh Indonesia di Papua, yang ada hanyalah kelegalan hukum Indonesia untuk membunuh orang Papua.
_____________________
Sumber Referensi:
Sumber Referensi:
- Dutch National Newspaper:NRC Handelsbald,March:4-2000 [1]
- Summarey of Jack W.Lydman’s report,July 18,1969,in NAA,Extracts given to author by Athony bamain[2]
- Jhon Salford:United Nations Involment whit the Act of Free Self-Determination in west Papua(Indonesia West New Guinea ) 1968 to 1969 [3]
- Yoman, Sofyan. 2013. Saya Bukan Bangsa Budak . Jayapura: Cenderawasih Press
- Alua Agus. Papua Barat dari Pangkuan ke Papua (Sutu iktisar kronologis) (Jayapura: Sekretariat Biro penelitian STFT Fajar Timur, 2006 Dewan Papua dan Dewan, 2006)
- P. J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas (Orang Papua menentukan nasib sendiri), terj.Jan Riberu (Yogyakarta: Kanisius,2010), hilm[775]-[783]
Copyright ©Oscar Note (Facebook) "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar