Kamis, 24 Mei 2018

Pasang Surut Kubu Papua Merdeka di Gedung Putih

Buletinnusa
Pasang Surut Kubu Papua Merdeka di Gedung Putih
Presiden ke-35 AS, John F. Kennedy (kiri), Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden AS, Lyndon B. Johnson, berjalan di Halaman Selatan Gedung Putih, di Washington, pada 25 April 1961. (Foto: JFK Library).
Di masa pra dan pasca Pepera 1969, Lingkaran dalam Gedung Putih tak luput dari pertarungan kubu Pro-Papua Merdeka dan Pro-Indonesia.
Gedung Putih tak pernah melepaskan pandangannya dari Indonesia. Demikian juga dari Papua. Indonesia dan Papua ada dalam radar AS. Tak pernah lekang.

Ini kata Pace Hat. Dia mengatakannya pada kami, dalam sebuah percakapan dua tahun lalu. Saya sudah lupa tepatnya di mana kami bercakap-cakap. Tetapi saya percaya apa yang dikatakannya.

Itu percakapan yang kesekian lainya. Pace Hat, sebagaimana berkali-kali saya kisahkan dalam laporan sebelumnya, adalah tokoh nyata. Tetapi kalau dia mau dianggap tokoh fiksi, juga tak apa. Atau percakapan-percakapan kami dianggap sebagai percakapan imajiner, silakan.

Dia adalah seorang tokoh Papua dan pada tahun-tahun 2000-an berada di front terdepan menyuarakan penentuan nasib Papua. Dalam usianya yang kini melewati 60-an tahun, ia ingin mengisahkan pengalaman-pengalamannya memperjuangkan nasib Papua, yang ia anggap mengalami marginalisasi dan salah urus oleh pemerintah Indonesia.

Suatu hari di medio dekade 2000-an, menurut kisahnya, ia mendapat undangan pemerintah AS mengunjungi negara Paman Sam itu. Perjalanan mereka diatur dalam apa yang lazim dikenal sebagai International Visitor Leader Program, yang diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri AS. Pace kala itu baru saja bebas setelah menjalani hukuman penjara dengan tuduhan makar dalam insiden mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Sebagai bagian dari acara pada program itu, Pace Hat diundang untuk makan pagi oleh seorang mantan pejabat AS di PBB yang saat itu menjadi gubernur sebuah negara bagian. Ia lupa namanya.

Ketika itu, Pace Hat sudah mempersiapkan semua bahan-bahan yang dia bawa dari Papua. Maksud hatinya adalah membeberkan apa yang selama ini ia anggap ‘kecelakaan’ dan ‘kekeliruan’ sejarah di Papua.

Tetapi apa yang terjadi ketika mereka bertemu?

Ketika Pace Hat sudah bersiap mengatakan apa yang ada di lubuk hatinya, semuanya tentang Papua, sang gubernur tersenyum dan memotong pembicaraan. Menurutnya, sudahlah, acara pagi itu adalah sarapan dan bersantap. “Semua soal Papua kami yang atur dari sini. Sekarang kamu mau makan apa? What can I do for you?,” kata sang gubernur.

Barangkali apa yang dikisahkan Pace Hat terlalu anekdotal. Tetapi mungkin ada kebenaran sejarah di dalamnya. Semakin banyak kita membaca literatur tentang Papua, semakin jelas bahwa AS turut bertanggung jawab atas masa lalu dan mungkin masa depan Papua.

Keyakinan semacam ini semakin kuat bila menelusuri dan membaca dokumen-dokumen arsip hubungan AS dan Indonesia. Hal itu, misalnya, dapat ditemukan dalam rangkaian dokumentasi kebijakan Kementerian Luar Negeri AS yang secara berkala dilansir oleh Office of the Historian, Biro Urusan Publik Kementerian Luar Negeri AS. Pada 6 Maret 1995, mereka menerbitkan ringkasan kebijakan luar negeri AS di Asia Tenggara, yang di dalamnya mencakup kebijakan terhadap Indonesia. (Foreign Relations, 1961-63, Vol XXIII, Southeast Asia).

Dari laporan ini, cukup nyata apa yang dikemukakan oleh Pace Hat. Salah satu gambaran yang tercipta dari serangkaian pemaparan dokumen itu ialah, bahwa ketika Belanda dan Indonesia berada dalam konflik untuk ‘memperebutkan’ Papua, di lingkaran presiden AS sendiri di Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri, terdapat dua kubu yang berbeda. Ada kubu yang pro-penentuan nasib sendiri Papua, tetapi juga ada yang pro-Indonesia.

Kubu Pro-penentuan nasib sendiri Papua tersebut (kita sebut saja kubu pro Papua Merdeka), terutama datang dari mereka yang berlatar belakang diplomat Kementerian Luar Negeri. Mereka umumnya bersimpati pada Belanda dan menginginkan proses penentuan nasib sendiri Papua dilaksanakan dengan benar, dan menjadi hal yang tidak bisa ditawar.

Kubu ini berhadapan dengan orang-orang dekat presiden AS, yang semakin lama semakin bersimpati pada Indonesia. Mereka mendasarkan sikapnya pada kajian-kajian akademis mengenai hubungan kedua negara (AS-RI). Mereka juga sangat mengkhawatirkan Indonesia jatuh ke tangan Komunis apabila klaim terhadap Papua tidak diakomodasi.

Dari Kolonialisme Putih ke Kolonialisme Coklat

Syahdan, Presiden Eisenhower lengser dan Presiden J.F. Kennedy dilantik menjadi presiden ke 35 AS pada Januari 1961. Pergantian ini tampaknya juga segera mengubah kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia.

Di masa Eisenhower, AS membantu pemberontakan militer terhadap Jakarta, tetapi gagal. Hubungan AS dengan pemerintah Soekarno juga kurang harmonis. Dari pihak Indonesia, salah satu alasan Soekarno untuk tak menyukai AS adalah sikap pemerintah Eisenhower yang berpijak pada posisi netral dalam perselisihan dengan Belanda mengenai Papua. Keengganan AS untuk mengakui Papua sebagai wilayah RI –dengan alasan netralitas – membuat Soekarno tidak menyukai Eisenhower.

Tak berapa lama setelah Kennedy dilantik, Dubes AS untuk Indonesia, Howard P. Jones, mengajukan sebuah rencana baru kebijakan AS untuk Indonesia. Tujuan utamanya adalah mencegah Indonesia berada di bawah kendali Komunis dan menjadikan negara itu sahabat AS. Berkaitan dengan Papua, AS menjanjikan bahwa wilayah tersebut akan kembali ke pangkuan Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya adalah terciptanya hubungan pribadi antara Presiden Kennedy dan Soekarno.

Rencana ini tidak segera mendapat penerimaan bulat. Seperti dikatakan tadi, di kalangan orang-orang dekat Presiden berlatar belakang diplomat di Kementerian Luar Negeri AS ada kubu yang bersimpati dengan Belanda. Mereka ini terutama orang-orang yang berada Biro Urusan Eropa.

Mereka menganggap aneksasi oleh Indonesia ke Papua hanya akan memindahkan kolonialisme kulit putih kepada kolonialisme kulit coklat. Oleh karena itu, mereka lebih setuju jika AS menekan Indonesia untuk memahami bahwa kekerasan atau perang bukan solusi dalam konflik memperebutkan Papua. Kubu ini juga mendukung usulan Belanda diadakannya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Kubu yang pro-penentuan nasib sendiri atas Papua di AS kala itu tak kurang dari Menlu AS sendiri, yaitu Dean Rusk. Ia mendukung hubungan yang lebih erat antara Sukarno dan Kennedy, namun dia tidak yakin bahwa AS harus memaksa Belanda yang merupakan sekutu AS di NATO, menyerahkan koloninya secara langsung kepada Indonesia. Mekanisme penentuan nasib sendiri yang diusulkan Papua dianggap jalan keluar yang paling layak.

Sebagai presiden yang baru menjabat, Kennedy tampaknya belum dapat segera mengambil sikap tegas terhadap para pembantunya. Di satu sisi ia harus mendengar orang-orang Kemenlunya, tetapi di pihak lain ada sebuah kelompok di dalam Pemerintahan AS yang bersebrangan dan justru sangat tertarik dengan akomodasi terhadap Soekarno.

Mereka yang masuk ke dalam kelompok tersebut antara lain adalah Robert Johnson dan Robert Komer, staf Gedung Putih dan Dewan Keamanan Nasional, serta Asisten Khusus Presiden untuk Kemanan Nasional, Walt Rostow. Mereka tampaknya tidak sepenuhnya percaya pada analisis Deplu AS. Karena itu mereka menginisiasi suatu tinjauan terhadap kebijakan AS-Indonesia dengan menggunakan studi-studi yang dilakukan oleh pakar dan penelti. Kesimpulan mereka adalah kebijakan AS terhadap Indonesia harus berubah.

Pada awal masa pemerintahan Kennedy, Kubu Kemlu atau kubu pro Papua Merdeka masih tampak membawa pengaruh. Pada bulan April 1961, Menlu Rusk mempresentasikan kepada Presiden AS sebuah proposal untuk mendukung perwalian PBB atas Papua yang dikelola oleh Malaysia. Proposal ini mendatangkan kritik dari pembantu-pembantu dekat Kennedy. Namun, Rusk tampaknya masih meyakini proposal itu akan didukung oleh sang Presiden.

Walaupun Kennedy bersikap skeptis saat berjumpa dengan Menlu Belanda, Joseph Luns, Rusk masih yakin AS berpihak pada Belanda atas isu Papua. Ia menunjukkan bahwa AS masih menentang penggunaan kekuatan militer oleh Indonesia atas Papua dan menganggap perwalian PBB yang mengarah pada penentuan nasib sendiri merupakan solusi terbaik untuk Papua.

Ujian terhadap dinamika yang ada pada orang-orang dekat Presiden Kennedy, terjadi pada bulan April 1961 ketika Presiden Soekarno mengunjungi AS. Sebelum bertemu Soekarno, Kennedy mendapat briefing dari pejabat Departemen Luar Negeri dan Gedung Putih. Rekomendasi yang diperoleh Kennedy agaknya tidak solid dan dibuat atas sudut pandang masing-masing stafnya.

Dalam pertemuan dengan Soekarno, Kennedy mencoba menyampaikan argumen yang dibuat oleh kubu Deplu yang menentang aneksasi Indonesia. Segera ia mendapat reaksi negatif Soekarno. Ketika Kennedy mengangkat isu perwalian PBB atas Papua, Soekarno menjawab, "Kami bersedia meminjam tangan PBB untuk memindahkan wilayah tersebut ke Indonesia."

Reaksi Soekarno itu menjadi pertimbangan serius AS. Jelas terlihat ada kesenjangan yang lebar antara Belanda dan Indonesia, dan itu harus ditengahi. Di satu sisi Belanda ingin sebuah perwalian PBB yang menjamin penentuan nasib sendiri bagi penduduk Papua, sementara Indonesia berpendapat bahwa sebuah perwalian hanya berfungsi sebagai tahap sementara untuk selanjutnya Papua menjadi bagian dari Indonesia.

Pada bulan Juni 1961, Deplu AS berkonsultasi dengan Belanda, Disepakati bahwa kehadiran PBB menjadi satu-satunya cara praktis untuk memecahkan masalah tersebut. Di sisi lain, ketika masalah ini diajukan kepada Indonesia, sikap tegas Indonesia adalah harus ada jaminan bahwa "internasionalisasi" masalah melalui PBB akan menghasilkan kekuasaan Indonesia atas Papua.

Dinamika kebijakan luar negeri AS atas isu Papua terus berkembang, dan perbedaan (atau pertarungan) antara Gedung Putih dan Deplu AS berlanjut. Sekali waktu di PBB Menlu Belanda mengusulkan penyerahan wilayah Papua kepada PBB. Belanda menyarankan agar PBB mengirimkan komisi untuk menyelenggarakan plebisit tentang penentuan nasib sendiri Papua.

Rostow menentang usulan ini dan menyarankan agar AS berbicara terus terang kepada Belanda dengan memperingatkan mereka bahwa perang militer dengan Indonesia bisa terjadi bila tetap bertahan dengan usulan mereka. Selain itu Rostow berpendapat penentuan nasib sendiri bagi penduduk Papua yang masih berada di "jaman batu" akan memakan waktu terlalu lama.

Deplu AS masih mencoba mengusulkan resolusi bersifat kompromistis pada musim gugur 1961 di pertemuan Majelis Umum PBB. Tetapi gagal memperoleh 2/3 mayoritas. Kelompok pro-Indonesia di Gedung Putih menganggap AS telah bertindak bukan sebagai "broker yang jujur," tetapi sebagai pendukung pihak yang salah..

Meninggalkan Posisi Netral

Kubu Gedung Putih akhirnya mengambil sikap yang lebih jelas ketika pada 1 Desember 1961, Penasihat Keamanan Nasional, McGeorge Bundy, memberikan dukungannya kepada Indonesia. Bundy mengatakan kepada Presiden, "Sebagian besar akademisi percaya bahwa rasa hormat Menlu Rusk terhadap Australia dan ketidaksukaannya terhadap Sukarno telah membawanya mengambil posisi dalam perdebatan PBB, yang, jika dilanjutkan, hanya dapat menguntungkan Komunis."

Bundy mendukung pandangan Rostow dan Johnson bahwa tidak seorang pun di kota ini tidak percaya bahwa, cepat atau lambat, Indonesia akan mendapatkan Papua. Dikatakan pula bahwa AS harus bekerja dengan tren ini dan tidak membiarkan blok Soviet mengeksploitasi isu tersebut untuk menarik Indonesia lebih dekat dengannya.

Pendapat Bundy mendapat perhatian Kennedy dan tampaknya itulah yang menjadi titik balik pudarnya pengaruh pro-kemerdekaan Papua di Gedung Putih (dan di AS). Sebaliknya, kubu pro-Indonesia menguat dan AS mengubah kebijakan luar negerinya dari bersikap netral menjadi mendukung Indonesia.

Pada perjalanan selanjutnya, AS mendorong Belanda dan Indonesia untuk melakukan negosiasi bilateral dengan Indonesia dengan perantaraan pihak ketiga. Presiden Kennedy mengirim saudara laki-lakinya, Jaksa Agung Robert Kennedy ke Indonesia dan Belanda untuk membujuk kedua belah pihak berunding.

Kepada Soekarno, Robert Kennedy menyampaikan bujukan agar mau berunding tanpa prasyarat. Ia juga memberikan pendapat –tetapi bukan janji -- bahwa hasil perundingan akan berakhir dengan memuaskan bagi Indonesia.

Sebaliknya, dalam pertemuan dengan Belanda, Robert Kennedy justru dengan tegas mengatakan bahwa AS akan menjadi moderator (bukan PBB) perundingan yang di dalamnya mencakup pengalihan pemerintahan atas Papua kepada Indonesia. Gagasan ini mengejutkan pihak Belanda dan menolaknya.

Belanda mencoba mendekati AS untuk berpihak kepadanya ketika pada bulan Maret 1962, Menlu Luns datang ke Washington. Dia bertemu dengan pejabat AS, termasuk Presiden Kennedy dan meminta izin untuk memperkuat kehadiran Angkatan Laut Belanda di Papua melalui Terusan Panama. Presiden Kennedy menolak permintaan itu. Kubu pro-Indonesia tampaknya sudah berhasil mempengaruhi Kennedy. Kekalahan lagi bagi Belanda.

Penolakan Kennedy merupakan isyarat menyakitkan bagi Belanda bahkan oleh sebagian orang dianggap sebagai penghianatan AS sebagai sekutu. Tetapi tak ada pilihan lain bagi Belanda selain duduk di meja perundingan dengan Indonesia. Mediatornya adalah mantan Duta Besar AS, Ellsworth Bunker. Perundingan rahasia diadakan di Middleburg, Virginia, AS, didasarkan pada apa yang di kemudian hari dikenal sebagai formula Bunker.

Melalui perundingan yang alot, diwarnai oleh berbagai trik diplomasi yang secara aktif dimainkan oleh AS bahkan Presiden Kennedy, Indonesia sepakat bahwa Belanda akan menyerahkan pemerintahan (administrasi) Papua kepada PBB, yang kemudian diikuti oleh penyerahan pemerintahan kepada Indonesia setelah 1 Mei 1963 (kurang dari satu tahun). Pasukan Indonesia di Papua akan berada di bawah kendali PBB, sementara PBB juga dapat mendayagunakan tentara Belanda dan Indonesia.

Setahun sebelum penentuan nasib sendiri, yang tidak boleh lewat dari 1969, PBB akan menunjuk seorang pejabatnya untuk memberi nasihat dan membantu penentuian nasib sendiri tersebut. Bendera Indonesia dapat berkibar bersama bendera PBB mulai 1 Januari 1963.

Hantu Komunis atau Insentif Kapitalis?

Apa yang menjadi alasan berubahnya posisi AS, dari netral kemudian mendukung Indonesia, serta melemahnya pengaruh pro-Papua Merdeka, menurut dokumen arsip Kemenlu AS yang menjadi sumber salinan tulisan ini, adalah berkaitan dengan meluasnya pengaruh Komunis di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

AS kala itu percaya bahwa sehubungan dengan Perang Dingin untuk perlu dicegah tenggelamnya Indonesia menjadi negara Komunis dengan memanfaatkan isu Papua-Belanda. Alasan Perang Dingin dan ‘hantu’ Komunis’ ini telah menjadi motif resmi dan populer yang selalu disebut dalam kaitan kebijakan AS atas Papua di masa pra dan pasca Pepera 1969. Ini juga banyak mewarnai pelajaran sejarah formal.

Namun dalam perkembangan selanjutnya hal itu dianggap bukan – atau bukan satu-satunya – motif. Greg Poulgrain dalam bukunya The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John Kennedy and Allen Dulles (2015), termasuk yang percaya bahwa kebijakan AS terhadap Papua dipicu oleh faktor lain, yaitu potensi sumber daya alam Papua.

Dalam bukunya, Poulgrain menyebut Allen Dules, seorang pejabat CIA, sebagai aktor yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan kebijakan AS kala itu atas Papua. Allen Dulles, berkepentingan agar Papua menjadi bagian Indonesia terkait dengan rencana untuk mengeksplorasi kekayaan alam di sana.

Dalam wawancara dengan Global Research, Poulgrain mengatakan Dulles memiliki skenario untuk mengendalikan sumber daya alam di Papua dengan cara, pertama, pemerintah kolonial Belanda harus digeser. Selanjutnya, Dulles membantu Kennedy untuk memilih antara Belanda atau Indonesia untuk menguasai Papua.

Menurut Poulgrain, Kennedy memilih Indonesia dengan memastikan bahwa opsi PBB tidak muncul. Ada pun opsi PBB yang dimaksud adalah gagasan Sekjen PBB Dag Hammarskjold kala itu, untuk melakukan referendum penentuan nasib sendiri di Papua.

Hammarskjold meninggal bersama 15 penumpang lainnya dalam sebuah ‘kecelakaan’ pesawat di Rhodesia Utara pada 18 September 1961.

Referensi

Posted by: Wim Geissler
Copyright ©Qureta "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar