Gambar: Benny Wenda saat sedang mendekam di LP Abepura. |
Pengantar
Judul ini diambil dari sebuah buku kecil yang saya tulis tahun 2013 dan buku itu belum diterbitkan, karena terkendala dengan biaya percetakan. Sedikit ditambah di bagian akhir dari judul ini sesuai dengan konteks saat ini. Dalam tulisan ini digambarkan perjuangan tuan Benny Wenda dan pandangan-pandangannya untuk membebaskan bangsa Papua.Tulisan ini diringkas dari draf buku tersebut dan ditulis dalam konteks menulis sejarah sendiri seperti diajarkan Dr. Benny Giay dan Dr. Sofyan Socratez Yoman. Saya pikir, selain buku-buku biografi tokoh-tokoh Papua dalam politik dan birokrasi Indonesia yang sudah banyak ditulis di Papua, kita perlu menulis sejarah yang sedang diciptakan oleh tokoh-tokoh kita dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Papua.
Kita sudah memiliki beberapa buku seperti perjuangan Mama Yosefa Alomang, John Rumbiak, dan Theys Eluay, sudah ditulis Dr. Benny Giay. Perjuangan Herman Awom dan kawan-kawannya, buku perjuangan Jenderal Kelly Kwalik, dan Arnold Ap’s vision ditulis almarhum Frank Hubatka, dan buku perjuangan Mako Tabuni, Buctar Tabuni dan Seby Sambom ditulis Markus Haluk. Banyak artikel juga sudah ditulis seperti Mako Tabuni, Octo, Henni Lanni dan lainnya.
Tetapi tugas kita belum selesai, kita perlu dan terus menulis sejarah kita yang menggambarkan perjuangan tokoh-tokoh besar bangsa Papua seperti Octovianus Mote, Andy Ayamiseba, Yacob Rumbiak, Rek Rumaikek, Edison Waromi, Agus Alua, Benny Giay, Sofyan S. Yoman, Victor Yeimo, Markus Haluk, Ones Suhuniap, Marthinus Yuhame, Filep Karma, Sem Awom, Jenderal Mathias Wenda, Jenderal Goliat Tabuni, Jenderal Mawen, dan lain-lain.
Mereka sedang membuat sejarah dan hal itu harus ditulis sebagai landasan masa depan bangsa kita. Dalam kaitan itulah artikel ini ditulis dan difokuskan perjuangan tuan Benny Wenda secara singkat.
Koteka Identitas Kami
Tahun 1970-an pemerintah Indonesia melakukan operasi tumpas Koteka di daerah pegunungan Tengah dan puncaknya adalah tahun 1976-78 yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan kampung-kampung, ternak babi dan kebun-kebun kami. Dalam beberapa laporan internasional menulis dengan jumlah korban yang berbeda. Asia Human Right melaporkan 4.146 orang (AHRC and ICP 2013), sedangkan Catholic Justice and Peace Commission of the Archdiocese of Brisbane laporkan 25 ribu orang (APCAB, 2016).Peristiwa itu kemudian menimbulkan gelombang pengungsi secara besar-besaran. Mereka mengungsi ke Mamberamo, Jayapura sampai di negara Papua New Guinea (PNG) dengan jalan kaki dan ribuan orang mati dalam perjalanan itu. Robin Osborne mencatat sekitar 1.500 orang Papua pindah ke PNG dalam tahun 1977-1978, dan laporan lain mencatat angkanya mencapai 2.000-3.000 orang.
Indonesia pakai istilah “Operasi Koteka”; Koteka adalah pakaian asli kami. Bila Koteka dipecahkan, dihancurkan dan dipatahkan, maka manusia menjadi telanjang, tidak berdaya, harga diri dan hidup direndahkan. Dia merasa diri tidak berarti, dianggap bukan manusia, dihina dan dimusnahkan. Inilah makna simbolik dari Operasi Koteka yang diterapkan pemerintah Indonesia untuk melucuti, menghancurkan dan membersihkan orang Papua dari kehidupan dan dunia mereka. Makna simbolik itu terbukti dengan jumlah korban dari operasi tersebut.
Dalam situasi ini Benny Wenda dan kami semua yang lahir dan besar di hutan-hutan tempat pengungsian orang tua kami sejak tahun 1980 hingga awal 2000-an benar-benar merasakan diskriminasi yang dibangun di kalangan masyarakat dan sekolah-sekolah di Papua. Pemerintah Indonesia, para migran dan kelompok afiliasi lain selalu melabelkan kami dengan istilah Koteka. Dalam pandangan mereka, Koteka identik dengan terbelakang, miskin, bodoh dan terhina. Di sekolah saya (penulis), kami diidentikan dengan pandangan itu. Pandangan ini dikonstruksi secara sistematis di Indonesia untuk tempatkan orang Papua pada posisi subordinasi dan rasis.
Dr. Neles Tebay dalam sebuah diskusi mengatakan, ketika dia kembali dari studinya di Roma, dia bertemu dua orang Indonesia di pesawat. Masing-masing dari Jawa dan Batak, mereka diskusi tentang studi mereka. Mereka semua selesai studi doktoral dari luar negeri dan kembali ke Indonesia. Mereka bertanya kepada Dr. Neles Tebay tentang tujuan perjalanannya. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa dia pun selesai studi doktoralnya dari luar negeri. Setelah mendengar itu, mereka mengatakan ingin ke Papua untuk melihat orang-orang Papua yang masih memakai Koteka.
Dr. Neles menjelaskan kepada mereka bahwa ayahnya masih memakai Koteka dan masih tinggal di rumahnya. Karena itu, dia mengundang kedua orang itu langsung ke rumahnya di Papua dan melihat ayahnya yang masih memakai Koteka.
Dua orang Indonesia itu berkata, “Kok bisa bapak masih berkoteka, tetapi anaknya menjadi doktor?”. Tetapi, Dr. Neles mengatakan bahwa apakah hubungan studi doktoral dengan Koteka? Koteka adalah karya intelektualitas kita dan Koteka tidak ada hubungan dengan pendidikan doktoral.
Pandangan inilah dikonstruksi oleh pemerintah dan rakyat Indonesia untuk melihat orang Papua, secara khusus kami manusia Koteka di pegunungan. Dalam situasi ini Benny Wenda dan generasinya belajar di sekolah dan berkembang. Benny Wenda sendiri telah banyak mengalami diskriminasi dengan label-label streotip macam itu. Di sekolah menengah dia diludahi di mukanya oleh seorang gadis migran karena pandangan rasisme tersebut.
Bertolak dari pengalaman itu, dia bangkit untuk memimpin masyarakat Koteka di Jayapura dan sekitarnya untuk menunjukkan identitas Koteka. Dia sadar bahwa masyarakatnya mempunyai potensi sangat besar untuk bangkit dan menunjukkan identitas mereka dengan simbol Koteka itu. Kami adalah manusia sama dengan orang lain. Koteka adalah dasar dan identitas dari hasil karya intelektualitas kami. Kami adalah manusia tangguh dan bekerja keras di kebun-kebun, betenak babi, membangun jembatan-jembatan dengan sangat teratur, pagar-pagar rumah dan kebun tersusun rapi, kami hidup dan menetap secara permanen di rumah-rumah dan kampung-kampung kami, dan memiliki peradaban tinggi.
Kondisi kehidupan dan peradaban ini sudah ditulis dan diakui berbagai ilmuwan dan misionaris, misalnya: Lieshout 2009, H.J. Bijlmer 1935, Eyma 1940, dan Richardson 1971, dan lain-lain.
Semua intelektualitas dan pengetahuan itu tidak datang dari luar, tidak diajarkan orang lain dari seberang lautan. Kami adalah manusia beradab dan hidup secara bebas tanpa campur tangan orang lain.
Manusia Koteka telah membangun dan mengembangkan peradaban itu sendiri tanpa bantuan pihak lain. Sudah saatnya manusia Koteka harus bangkit dan menunjukkan identitasnya sebagai manusia beradab, merdeka dan berdaulat.
Dewan Masyarakat Masyarakat Adat Koteka
Dalam pandangan tersebut, Benny Wenda dan teman-temannya membentuk Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DeMMAK) di Jayapura. Lembaga ini dibentuk untuk menghimpun semua masyarakat dari etnik-etnik yang berbudaya Koteka secara khusus dan orang-orang pegunungan pada umumnya. Mulai dari Pegunungan Bintang, Boven Digul sampai di Nabire. Tujuan ialah menghimpun orang-orang Koteka, membangkitkan idenitas budaya dan memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.Dewan ini dibentuk dengan nama Koteka adalah reaksi atas diskriminasi dan rasisme diterapkan pemerintah dan rakyat Indonesia, dan juga kelompok-kelompok lain yang memiliki pandangan tersebut. DeMMAK secara konsisten berjuang untuk penentuan nasib sendiri dan menolak dialog dan otonomi khusus Papua.
Sikap ini secara tegas disampaikan dalam musyawarah Besar Papua dan Kongres Papua II bahwa DeMMAK secara tegas menyatakan menolak dialog dengan Jakarta dan Otonomi Khusus Papua. Sikap ini perlawanan dengan resolusi Kongres yang menghendaki dilakukan dialog dengan Jakarta untuk pelurusan sejarah dan proses kemerdekaan Papua.
Dalam kongres dua itu DeMMaK telah menunjukkan identitas sebagai manusia Koteka dengan ditampilkan busana asli, yaitu Koteka. Benny juga membentuk Satuan Tugas Koteka (Satgas) untuk mengamankan berbagai kegiatan perjuangan termasuk Mubes, Kongres dan para petinggi PDP, seperti Theys Eluay. Di mana Satgas Koteka bekerja sama dengan Satgas Papua saat itu.
Benny Wenda mengorganisir dan memerintahkan bahwa semua orang pegunungan diwajibkan untuk mengenakan Koteka sebagai pakaian asli mereka. Mereka datang dengan menghiasi tubuh dengan berbagai atribut budaya dan melumpuhkan kota Jayapura dan menuju gedung Olahraga (GOR), tempat dimana dilaksanaakan Kongres Papua II.
Penulis waktu itu mengikuti massa aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggil dan berkumpul di halaman Universitas Cenderawasih, lalu menuju Jayapura. Massa aksi mahasiswa tempati dari depan Mapolda sampai di halaman gedung olahraga, dua jam kemudian masyarakat Koteka datang dan menutupi seluruh lokasi itu. Mereka semua memakai pakaian asli dengan dihiasi berbagai atribut budaya. Situasi itu membuat kami merasa menjadi manusia yang sempurna atau merasa diri kami lengkap. Spirit kami telah bangkit dan seluruh mahasiswa Koteka yang tinggal di situ masuk bergabung dengan masyarakat Koteka yang baru datang ini. Karena ini kebangkitan spirit kami yang sudah dibunuh Indonesia telah hidup kembali dan menunjukkan identitasnya.
Hari itu Benny Wenda telah mengembalikan spirit dan membangkitkan identitas kami sebagai manusia Koteka di Jayapura. Inilah spirit dan titik awal kebangkitan manusia Koteka dan menyatakan secara terbuka kepada Indonesia dan pihak lain bahwa Koteka adalah identitas dan harga diri kami. Kulit, rambut dan jiwa kami tidak bisa dirubah dengan gambar orang lain seperti dalam berbagai propaganda Indonesia. Kami adalah manusia Koteka dan kami ahli waris tanah dan negeri ini. Leluhur kami ditempatkan di tanah ini sejak penciptaan dan akan diwariskan kepada anak cucu kami. Koteka adalah bukan ketertinggalan kami, tetapi karya intelektualitas leluhur kami.
Benny tidak hanya membentuk Dewan Koteka, mengorganisir masyarakatnya dan memperjuangkan kemerdekaan, tetapi dia juga sudah berkomitmen dengan istrinya, Maria Wenda. Ketika mereka mendapatkan anak pertama akan diberikan nama Koteka kepadanya, sebagai simbol perlawanan dan identitas. Ketika anak pertama mereka lahir tahun 2002 diberi nama Koteka kepada bayi kecil itu. Disini bayi Koteka menjadi simbol untuk mengingatkan sejarah kebangkitkan manusia Koteka melalui DeMMaK.
Melalui organisasi ini, Benny Wenda muncul sebagai tokoh muda sangat potensial dalam perjuangan kemerdekaan Papua. Bagi Indonesia, munculnya Benny menjadi ancaman serius eksistensi pendudukan dan kolonialisme mereka di Papua.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar ketakutan mereka. (1). Secara pribadi Benny Wenda adalah seorang berpendidikan sama dengan teman-teman segenerasinya. (2). Indonesia menghubungkan Benny Wenda dengan Jenderal Matias Wenda secara genealogis dan etnik. Karena munculnya Benny Wenda dianggap sebagai bentuk tranformasi dari perjuangan Jenderal Matias di hutan yang secara konsisten, berprinsip dan tidak kompromis dengan kolonial. (3). Basis massa masyarakat Koteka yang sangat besar dan hal itu dianggap sebagai suatu kekuatan besar dan akan bangkit untuk menunjukkan sikapnya. (4). Masyarakat Koteka yang dikenal tegas, prinsip, konsisten dan tidak mudah dirayu oleh kolonial. (5). Indonesia dibayang-bayangi oleh tindakan kejahatan mereka sendiri dengan simbol operasi Koteka tadi.
Periode ini merupakan masa kebangkitan rakyat Papua yang diorganisir melalui berbagai organisasi di seluruh Papua. Gerakan itu kemudian disatukan oleh kelompok intelektual dalam suatu organisasi besar sebagai badan representasi yaitu Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI). Forum ini kemudian lahirkan Tim 100 untuk bertemu presiden B.J Habibie. Di mana Habibie mengatakan, kembali dan renungkan. Setelah kembali dilaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) tanggal 23-27 Februari 2000 di hotel Sentani Indah dan Kongres Papua II pada 29 Mei – 4 Juni 2000.
Periode ini saya sebut sebagai era kebangkitan perjuangan baru (Peyon 2010: 232-240). Di mana DeMMaK sendiri pun lahir dalam kondisi ini dan pada masa kebangkitan bangsa Papua. Selain itu, tokoh-tokoh besar lain khusus dari manusia Koteka juga menjadi suatu spirit baru untuk orang Koteka, seperti Agus Alua, Tom Beanal, Benny Giay, Noack Nawipa, dan lain-lain. Benny Wenda dan Octovianus Mote adalah pemimpin Koteka yang lahir pada masa ini dari latar belakang organisasi yang berbeda.
Potensi kekuatan basis massa itu kini telah terbukti, di mana manusia Koteka sudah bangkit dan menyatakan sikap politik dalam perjuangan Papua Merdeka. Mereka tidak sendiri, tetapi bersama dengan saudara-saudara sesama bangsa Papua lain di seluruh Tanah Papua.
Hal ini telah digenapi perjanjian Obet Tabuni tahun 1970-an, salah seorang anggota TPN generasi pertama orang Koteka. Dia dijebak dan dijual oleh Theo Messet (kakak dari Nicolash Messet, tokoh Merah Putih sekarang) kepada militer Indonesia di Jayapura. Theo Meset mengajak Obet Tabuni di sebuah rumah makan di Jayapura (kini Bank Mandiri pusat) dan dia ditembak oleh militer di perutnya. Tetapi, dia sudah selamatkan diri dan lari ke arah gunung. Ketika sampai di gunung (kini sekolah Kalam Kudus), dia ditembak di kakinya oleh Yapsenang, seorang anggota TNI asal Genyem. Militer Indonesia kemudian membawanya ke kantor mereka di Kloofkamp dan ditembak mati.
Sebelum dia dibunuh, mereka interogasi dia tentang tempat tinggal dan jumlah kekuatan yang ada.
Obet Tabuni mengatakan, “Hari ini satu orang Obet Tabuni mati, tetapi besok ribuan manusia Koteka akan bangkit dan berjuang untuk memerdekakan bangsa Papua”.
Pernyataan itu sudah terbukti dalam berbagai fora perjuangan manusia Koteka selama ini. Hal tersebut secara simbolik mengatakan bahwa busana Koteka bukan kebodohan dan ketertinggalan kami, tetapi identitas dan karya intelektualitas leluhur kami.
Bersambung….
)* Penulis adalah akademisi Uncen. Saat ini ia sebagai kandidat doktor dari salah satu universitas ternama di Jerman.
Posted by: Admin
Copyright ©Ibrahum Peyom "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar