Pada bulan Agustus 1968, Fernando Ortiz Sanz tiba di Papua. Untuk pertama kalinya ia menjejakkan kaki di Bumi Cendrawasih itu. Ortis Sanz didampingi tiga orang stafnya memulai perjalanan 10 hari di pulau yang dulu bernama Irian Barat. Mereka didampingi oleh para pejabat Indonesia.
Ortiz Sanz seorang berkebangsaan Bolivia. Lahir di kota Sucre, tahun 1914, ia adalah diplomat. Tetapi ia juga penulis. Novel-novelnya antara lain La barricada The Barricade (1963), La cruz del sur (The Cross of the South) (1969), dan Siete nadies (Seven Nobodies) (1999).
Dia juga menulis sekitar 10 buku puisi seperti Prólogo al adiós (Prologue to a Farewell) (1954), Cantos a Bolivia (Songs for Bolivia) (1984) dan Mares del sur y otros poemas (Seas of the South and Other Poems) (1998).
Tetapi, kedatangannya ke Papua kala itu bukan untuk menulis novel. Ia datang sebagai utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB. Tugasnya di Papua sangat krusial: "memberi nasihat, membantu dan berpartisipasi" dalam penentuan nasib sendiri rakyat Papua yang diselenggarakan oleh Indonesia.
Dia harus memastikan bahwa Penentuan Nasib Sendiri -- yang kemudian lebih dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) -- terlaksana sesuai dengan amanat Perjanjian New York 1962. Yang disebut belakangan ini adalah perjanjian yang tercipta dalam perundingan antara Belanda dan Indonesia yang diprakarsai oleh AS dan PBB. Intinya, Pepera harus berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diakui dunia internasional.
Dari ukuran Indonesia dan ukuran PBB saat itu, kita tahu bahwa Pepera pada 1969 itu dianggap berlangsung dengan sukses. Sebanyak 1025 orang yang dipilih mewakili 800.000 penduduk untuk memberi suara. Semua, 100 persen, mengatakan bergabung dengan NKRI. (Menurut catatan, ada empat orang yang tidak hadir tetapi namanya tetap juga dicatat). Juga selama proses Pepera, tidak ada pertumpahan darah yang berarti.
Resolusi tentang pelaksanaan Pepera dibahas dan diterima di Sidang Umum PBB pada bulan November 1969 dengan hasil yang meyakinkan pula. Dalam pemungutan suara, sebanyak 84 negara setuju, tidak ada yang tidak setuju, dan 30 abstain. Pepera menjadi salah satu dasar integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini.
Di kemudian hari, berbagai fakta dan kajian sejarah menunjukkan bahwa proses Pepera sebetulnya bukan proses yang mulus. Bukan hanya dipandang dari kacamata saat ini, tetapi juga bila ditelisik dari sudut pandang saat itu.
Di hari-hari menjelang Pepera berbagai unjuk rasa menyatakan penolakan bergabung dengan NKRI terjadi. Penembakan-penembakan terhadap tentara Indonesia juga ada. Penangkapan para aktivis yang megekspresikan penolakan terhadap RI, berlangsung. Ada juga catatan tentang berbagai elemen rakyat Papua yang sesungguhnya tidak menerima Perjanjian New York 1962.
Itu saja sesungguhnya dapat menjadi dasar untuk membuat dugaan bahwa seharusnya hasilnya tidak 100 persen untuk mendukung bersatu dengan RI. Tidak dilaksanakannya prinsip one man one vote, serta tuduhan adanya intimidasi dan isolasi kepada orang-orang yang dipilih menjadi wakil untuk memberi suara, juga menunjukkan bahwa Pepera 1969 bukan proses demokrasi yang ideal.
Hal-hal semacam ini terungkap dalam laporan-laporan Ortiz Sanz kepada PBB. Itu sebabnya laporan-laporannya banyak dipergunakan para sejarawan untuk menunjukkan hal-hal yang dianggap merupakan pelanggaran dalam pelaksanaan Pepera 1969. Selanjutnya hal itu dijadikan dasar bagi usulan perlu adanya referendum ulang di Papua.
John Saltford, peneliti dari Inggris, termasuk yang dengan rinci menganalisis laporan-laporan Ortiz Sanz untuk menggambarkan "cacat" di seputar persiapan maupun pelaksanaan Pepera 1969.
Salfortz dalam buku The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962-1969, the Anatomy of Betrayal (2003), mengutip sejumlah pernyataan Ortiz Sanz yang menyesalkan langkah pemerintah Indonesia yang menghambat kebebasan berpendapat dan berserikat bagi gerakan-gerakan pro-kemerdekaan di Papua pada masa-masa menjelang Pepera 1969.
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli.” Demikian laporan Ortiz Sanz dalam Dokumen PBB, Annex I,A/7723, paragraph 251, hal. 70, yang dikutip oleh John Saltford.
Ortiz Sanz juga mengeritik sikap pemerintah Indonesia yang tidak kooperatif dengan staf PBB dalam mempersiapkan Pepera. "....ketika saya tiba di Papua pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah tentang tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan Pasal XVI (16) Perjanjian New York.
Walaupun, ahli PBB yang harus berada di Papua pada saat peralihan tanggungjawab administrasi sepenuhnya kepada Indonesia telah dikurangi, mereka tidak pernah mengetahui secara baik keadaan-keadaan dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati, membatu dalam persiapan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang penentuan nasib sendiri tidak didukung selama masa bulan Mei 1963 s/d 23 Agustus 1969, ” (paragraf 23, hal. 12).
Perbedaan pendapat yang paling tajam antara Ortiz Sanz dengan Indonesia adalah soal bagaimana cara penentuan pendapat sendiri itu dilaksanakan. Para aktivis pro-kemerdekaan Papua dan juga PBB sejak awal berfikir bahwa pelaksanaannya adalah lewat proses pemilihan umum langsung, one man one vote. Namun Indonesia bersikeras bahwa hal itu harus dilakukan dengan 'metode' musyawarah/perwakilan.
Perdebatan mengenai hal ini demikian hebatnya, dan tampaknya ini yang membuat Ortiz Sanz harus mengalah. Indonesia ketika itu tampaknya telah memasang 'harga mati' dalam soal ini. Mereka sampai-sampai mengingatkan Ortiz Sanz bahwa kapasitasnya hadir di Papua hanyalah sebagai 'utusan khusus' Sekjen PBB dan bukan wakil dari PBB.
Menurut Billver Singh dalam bukunya Papua: Geopolitics and the Quest for Nationhood (2008), hal itu menggarisbawahi lemahnya dukungan internasional yang jernih bagi pelaksanaan kemerdekaan Papua. Dan pada saat yang sama, menunjukkan rasa percaya diri Indonesia yang besar, apalagi telah mendapat dukungan dari AS yang memberikan jaminan dukungan dari negara-negara Barat.
Sikap PBB semakin jelas ketika Sekjen PBB, U Thant, menolak permintaan Komite Kemerdekaan Papua, Nicolaas Jouwe, agar Pepera dilaksanakan secara one man one vote. Padahal, sebelumya, Ortiz Sanz sebetulnya sempat mengusulkan alternatif berupa metode campuran.
Penduduk di perkotaan menggunakan hak pilihnya secara langsung sedangkan penduduk di pedalaman menggunakan cara perwakilan.
Tetapi metode ini pun ditolak oleh Indonesia.
Posisi Indonesia semakin kuat setelah Menteri Luar Negeri Australia saat itu, Gordon Freeth mengisyaratkan bahwa Australia akan menerima hasil penentuan nasib sendiri di Irian Barat yang dilakukan dalam bentuk pemungutan suara oleh 1000 orang wakil-wakil masyarakat.
Ortiz Sanz pun akhirnya setuju. Ia mengeluarkan pernyataan pers pada 18 Maret 1969. Ia memberikan catatan bahwa metode musyawarah dilakukan dengan syarat harus cukup besar jumlahnya dan mewakili seluruh komponen masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia telah memberikan jaminan akan melaksanakan syarat tersebut.
30 Tahun Kemudian....
Di rumahnya, di Sucre, pada 15 Desember 1999, Ortiz Sanz menerima wartawan Belanda, Stafan Alonso Casale. Wawancara pun berlangsung. Sekali lagi, apa yang terjadi di Papua tiga dekade sebelumnya diangkat dan ditanyakan kepadanya.
Dalam wawancara yang dimuat di surat kabar Belanda, NRC Handelsblad, pada 14 Januari 2000, Ortiz Sanz menunjukkan sikapnya yang lebih lunak, paling tidak bila dibandingkan dengan kesan yang ditampilkan oleh para sejarawan dengan mengutip laporan-laporannya.
Ortiz Sanz menegaskan bahwa apa yang dilaporkan oleh Sekjen PBB ke Majelis Umum PBB tentang Pepera di Papua adalah demikian adanya dan tidak ada yang perlu ia tambahkan atau ia kurangi.
Dalam wawancara itu, ia mengakui bahwa awalnya ia mengajukan agar proses Pepera dilaksanakan dengan cara one man one vote. Tetapi pada akhirnya ia bisa menerima metode musyawarah sebagai salah satu cara Asia. Dan ia meyakini cara seperti itu bukan hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan Asia.
Menurutnya, kondisi budaya dan penduduk saat itu, sangat terbelakang (primitif). Itu sebabnya, kata dia, berbulan-bulan persiapan mereka habiskan untuk mencari cara yang tepat untuk menangkap aspirasi rakyat Papua.
Ortiz Sanz mengatakan mungkin saja ada penyimpangan dalam pelaksanaan Pepera dan pemerintah Indonesia mungkin telah berlaku dengan kasar atau bahkan menghalangi proses itu. Tetapi ia mengatakan hal itu bukan dengan tujuan untuk melakukan manipulasi. Paling mungkin adalah karena kondisi sumber daya saat itu.
"Tidak ada manipulasi. Terkadang memang ada yang tidak beres, seperti biasanya," kata dia.
Hal itu. lanjut dia, dapat dimaklumi karena Pepera mencakup penduduk di beberapa pulau dan meliputi puluhan dialek bahasa.
"Itu adalah domain yang sulit; Ada keterbelakangan budaya. Beberapa sudah lebih modern, yang lain hidup dalam keterbelakangan," kata dia.
Ini yang menjadi alasan mengapa Ortiz Sanz tidak ngotot lagi untuk memberlakukan one man one vote dan menerima metode musyawarah. Cara ini kata dia, lazim di Papua, di mana komunikasi sulit dilakukan karena masyarakat tidak dapat menulis. Itulah, kata Ortiz Sanz, satu-satunya cara untuk mencapai kesepakatan dalam hal-hal penting yang dimiliki orang Papua. Musyawarah adalah kemungkinan paling demokratis yang ada.
Ortiz Sanz mengatakan pertanyaan kunci untuk orang Papua saat itu adalah "apakah Anda ingin menjadi bagian dari Indonesia atau Anda ingin menemukan cara untuk merdeka?"
Perwakilan-perwakilan itu, kata Ortiz Sanz, memilih dan jawabannya adalah dengan suara bulat mengatakan tentu saja mereka ingin merdeka, namun mereka menerima bahwa mereka tidak dapat menjadi negara merdeka tanpa dukungan dari Indonesia.
"Tanpa Indonesia mereka akan mati kelaparan. Itulah situasinya. Itulah kontradiksi yang harus diseimbangkan (pada saat itu)," kata Ortiz Sanz.
Ortiz Sanz mengatakan memang selama ia berada di Papua, dirinya menerima juga berbagai petisi untuk merdeka. "Saya secara teratur menerima petisi dari orang Papua yang mendukung kemerdekaan. Tapi petisi ini sangat fragmentaris, yang ditulis oleh individu, dalam dialek yang berbeda. Hal itu membuat sulit untuk memperkirakan kepentingan mereka.
Di sisi lain ada banyak pemilik toko dan petani, penduduk biasa, yang secara terbuka mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia karena kondisi kehidupannya membaik. Hidup dalam kegelapan telah usai. Saya mendengarkan mereka, berbicara kepada ratusan orang. Kepada para kepala suku, tapi juga untuk orang-orang di jalanan."
Di mata Ortiz Sanz, penduduk Papua ketika itu tidak memiliki tingkat peradaban yang dibutuhkan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dan ini, lanjut dia, tidak hanya berlaku untuk orang Papua, juga untuk orang-orang di kepulauan lainnya di Indonesia.
Satu hal yang menarik dari wawancara dengan Ortiz Sanz adalah pernyataannya bahwa tidak ada daftar nama-nama yang terpilih jadi pemberi suara. Mereka datang dan berkumpul lalu mengambil keputusan bersama. Ia mengakui kemungkinan ada pejabat Indonesia yang memberikan tekanan pada satu atau dua dari kesempatan, namun permintaan maaf atas kejadian itu sudah disampaikan.
"Selebihnya prosedurnya benar-benar bersih. Itu adalah status quo dan kami melakukan segalanya secara manusiawi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan utama. Baik dari pihak Indonesia maupun dari sisi PBB ada upaya untuk mengkoordinasikan situasi ini."
Oleh karena itu, kata Ortiz Sanz, dalam laporan akhirnya kepada PBB, ia menekankan penerimaannya atas hasil Pepera. Dalam laporan itu, ia menulis: 'Dengan keadaan seperti ini, tidak mungkin menyangkal bahwa prosedur demokrasi telah terjadi di Irian.'
Menurut Ortiz Sanz, semua pihak menerima hal itu. Bahkan Belanda pun tidak menolaknya.
Kendati Ortiz Sanz dengan jelas menyatakan dukungannya atas hasil Pepera, dan hasil dari Pepera itu 'bijaksana dan masuk akal,' ia juga memberikan harapan bagi aspirasi rakyat Papua yang masih menginginkan kemerdekaan.
"Saya telah mengusahakan otonomi seluas mungkin bagi mereka (rakyat Papua). Tapi ini tidak membuat saya mengesampingkan bahwa, di masa depan, penduduk Irian Barat akan kembali memiliki kesempatan untuk menentukan nasib mereka sendiri," kata Ortiz Sanz.
"Saya katakan kepada mereka: bersabarlah. Saatnya akan tiba; jangan takut. Tuntutlah ilmu, pelajari segala hal yang perlu diketahui tentang prinsip demokrasi dan jalan akan terbuka bagi Anda. Itu saya kira adalah sikap yang sehat," kata Ortiz Sanz.
Ortiz Sanz meninggal tahun 2004. Barangkali ini adalah salah satu wasiatnya yang paling berharga untuk rakyat Papua.
Posted by: Wim Geissler
Copyright ©Qureta "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar