Kamis, 24 Mei 2018

Papua di Tengah Demam Merdeka Bangsa-Bangsa Melanesia

Buletinnusa
Papua di Tengah Demam Merdeka Bangsa-Bangsa Melanesia
Gambar: Rumah tradisional suku Kanaks di Kaledonia Baru.
Tahun depan Bougainville akan mengadakan referendum menentukan berpisah atau tetap bersama Papua Nugini. November ini, Kaledonia Baru juga akan mengadakan referendum serupa dari Prancis. French Polynesia juga ingin mengikuti jejak Kaledonia Baru. Ini seperti mengulang nostalgia pahit bagi sebagian kalangan Papua.
Singkong goreng di dalam piring kecil dan garam di piring lainnya. Juga ada sambal di wadahnya yang berwarna merah. Gelas-gelas berisi kopi. Berjejer di atas meja di depan kami. Ini sebuah kedai berlantai dua. Dari jendela kaca, kami dapat menyaksikan lalu lalang di jalan raya.

Pagi itu kami bertemu Pace Hat lagi. Beliau tokoh Papua yang sangat mencintai tanah kelahirannya. Dan tiada henti menyuarakan pelurusan sejarah bangsanya.

Seperti sudah saya laporkan pada tulisan-tulisan sebelumnya, Pace Hat bukan namanya yang sebenarnya. Ia tokoh nyata. Tetapi kalau Anda mau menganggapnya tokoh fiktif, juga tak apa. Atau menganggap ini adalah percakapan-percakapan imajiner, silakan.

Kami bertemu lagi untuk sebuah buku yang akan jadi memoarnya tentang lika-liku hidupnya ‘berbakti’ kepada Papua. Kali ini kami berbicara tentang Papua sebagai bagian dari rumpun Melanesia.

Tetapi pagi itu saya agak kehilangan konsentrasi. Mengantuk berat, mungkin karena tidur terlalu larut pada malam sebelumnya. Jadi catatan saya tentang perbincangan itu hanya berupa percikan-percikan belaka.

Menurut Pace Hat, dari dulu hubungan Papua dengan negara-negara rumpun Melanesia lainnya telah demikian akrab. Papua dengan nama Netherlands New Guinea itu bahkan telah mengutus perwakilannya pada forum-forum negara-negara Melanesia di Pasifik.

Pada tahun 1950, misalnya, Papua mengirimkan utusan ke Suva, Fiji, untuk menghadiri South Pacific Conference. Markus Kaisiepo dan Nicolas Jouwe bergabung dengan delegasi dari negara-negara rumpun Melanesia lainnya.

Nic Maclellan, seorang staf Pacific Concerns Resource Center (PCRC) di Suva (1997-2000) dalam laporannya di Inside Indonesia pada 30 Juli 2007, bahkan mengatakan ada foto yang menunjukkan Kaisiepo duduk disamping Ratu Sir Edward Cakobau dari Fiji, Albert Henry dari Cook Islands dan Pangeran Tu’ipelehake dari Kerajaan Tonga.
Contoh lain adalah hubungan Papua dengan Vanuatu. Vanuatu dulunya adalah negara jajahan Inggris dan Prancis.

Ketika mereka memperjuangkan kemerdekaan, orang-orang Papua turut membantu dan bahkan berjuang bersama. Salah satunya adalah ayah dari Andi Ayamiseba (tokoh pelopor band Black Brothers). Beliau ikut berjuang untuk Vanuatu. Tidak mengherankan bila tokoh-tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)—termasuk Andi Ayamiseba—disambut dengan sangat ramah bila berkunjung ke Vanuatu.

Menurut Pace Hat, kedekatan Vanuatu dan negara-negara Pasifik lainnya dengan Papua dapat pula dilihat dari bagaimana universitas dibentuk Belanda di kawasan itu. Pada tahun 50-an, kampus South Pacific University tidak hanya ada di Port Moresby, Papua Nugini, tetapi juga di Port Villa (Vanuatu) dan Port Numbay. Nama yang disebut belakangan ini tak lain adalah sebutan untuk Jayapura waktu itu.

Jadi, menurut Pace Hat, sesungguhnya para pemimpin di kepulauan Pasifik di masa itu, pernah duduk di sekolah yang sama.

Pada tahun 1960-an, orang-orang Papua banyak yang belajar ke Sekolah Kedokteran di Fiji dan Sekolah Teologia di Suva. Gereja-gereja di Pasifik bekerja bersama mendirikan Pacific Conference of Churches (PCC) setelah berdirinya Malua Conference of Churches and Missions di Samoa pada 1961. Dalam pertemuan tersebut, delegasi dari Papua (Dutch New Guinea), hadir bersama Pendeta Kabel dan Pendeta Maloali dari Evangelical Christian Church.

Kedekatan orang-orang Papua dengan negara rumpun Melanesia lainnya juga tampak di Papua Nugini pada masa-masa awal kemerdekaannya. Para pelarian dari Indonesia memainkan peran penting di pemerintahan, pendidikan dan sosial di Papua Nugini di masa itu. Ini lagi-lagi menurut laporan Nic Maclelan.

“Jadi sebetulnya masa lalu Papua ada di dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) sebab MSG sesungguhnya adalah South Pacific Conference,” demikian Pace Hat berkata dalam bincang-bincang kami.

Ada banyak lagi kisah-kisah yang dituturkan Pace Hat di pagi hingga siang itu. Tetapi kalimat yang mengiang-ngiang di telinga saat ini—setelah dua tahun pertemuan itu dan sampai sekarang kami tidak berkomunikasi lagi—adalah satu kalimat yang jadi pernyataannya terakhir: “MSG adalah masa lalu bagi Papua.”

Menelaah kalimatnya itu pada hari ini, setelah mengambil jarak dari perbincangan kami dua tahun lalu itu, seolah ada misteri dalam kalimat itu. Apakah kalimat itu diucapkan dengan serius, dengan pesan tertentu, atau hanya ucapan logis biasa saja?

Apakah Pace Hat sesungguhnya hendak mengatakan bahwa MSG adalah masa lalu dan bukan masa depan bagi Papua? Bila kita menyimak bagaimana kegigihan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang tergabung dalam ULMWP untuk diterima di MSG, apakah itu berarti sebuah perjuangan menuju masa lalu dan bukan ke masa depan?

Saya menyesal tidak menanyakannya ketika itu, ketika kami bertatap muka.

Percakapan dengan Pace Hat dua tahun lalu itu jadi terasa lebih relevan lagi bila membaca berita akhir-akhir ini tentang demam referendum di berbagai belahan negara-negara Melanesia. Tahun 2019, Bougainville akan mengadakan referendum untuk melaksanakan proses self determination. Rakyat Bougainville akan menentukan apakah mereka akan tetap bersama Papua Nugini atau menjadi negara berdaulat?

November mendatang, sudah hampir dipastikan bahwa bangsa Kanaks di Kaledonia Baru akan menentukan nasibnya lewat referendum. Mereka juga akan mengambil sikap, apakah akan tetap bersama Prancis atau menjadi negara tersendiri?

Situs berita radionz.co.nz menulis bahwa pemimpin oposisi French Polynesia berkata wilayah itu juga akan menuntut referendum setelah Kaledonia Baru. Mereka juga akan meminta merdeka dari Prancis.

Ini adalah kejadian-kejadian yang akan berlangsung dalam waktu tidak lama lagi. Sesuatu yang coming soon. Tetapi bagi banyak orang-orang Papua, bisa jadi itu juga sebetulnya sebuah peristiwa kembali ke masa lalu. Ke masa di mana dahulu hal semacam itu telah terjadi.

Dahulu, satu per satu teman-teman mereka sesama rumpun Melanesia menjadi negara merdeka. Fiji, Vanuatu, Solomon Islands, Papua Nugini, menjadi negara merdeka, merdeka dari negara penjajah mereka. Sementara Papua pada saat yang sama, seakan memiliki takdir yang lain. Melalui Pepera tahun 1969, Papua justru bergabung dengan Indonesia, suatu ‘takdir’ yang menyisakan luka-luka bagi sebagian orang Papua.

Maka luka-luka lama itu kemungkinan akan terasa lagi di tengah fenomena ‘demam merdeka’ di sejumlah negara-negara rumpun Melanesia ini. Nostalgia sebagai sesama negara rumpun Melanesia, yang pernah seperti ‘teman seiring dan sepermainan,’ seakan diputar ulang.

Nostalgia ‘teman sepermainan’ itu pernah menjadi demikian nyata, demikian dekat dan demikian memberi harapan pada tahun 2000 pasca jatuhnya Soeharto. Jejaring persahabatan dan sepenanggungan sesama bangsa Melanesia bangkit sejenak, memberi dukungan bagi Papua untuk ‘mengubah’ takdirnya.

Pada Millienium Summit di PBB di New York tahun 2000, misalnya, para pemimpin Nauru, Vanuatu dan Tuvalu mengangkat isu Papua. Mereka ini menjadi negara-negara pertama yang mendukung kemerdekaan Papua di PBB.

Selanjutnya pada Oktober 2000, empat pemimpin Papua diberi status delegasi resmi pada Pacific Islands Forum ke 31 sebagai anggota delegasi Nauru. Pada forum itu, Vanuatu, Nauru dan negara-negara lainnya mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, kendati Australia dan Papua Nugini menolaknya, mengingat sensitifnya isu kedaulatan RI, sebagai negara tetangga mereka. Franz Albert Joku dari Presidium Dewan Papua (PDP), kala itu menyambut dengan gembira dukungan PIF tersebut.

Tetapi jejaring persahabatan dan sepermainan di masa lalu di antara sesama rumpun Melanesia itu agaknya belum cukup kuat membantu ‘saudara’ dengan takdir lain sendiri itu. Walau terus bersuara, tetapi suara itu tampaknya tak cukup terdengar. Atau bila pun terdengar tampaknya belum juga berhasil untuk meyakinkan para pengambil keputusan di negara-negara yang memiliki pengaruh besar di dunia, khususnya terhadap Indonesia.

Pada tiga tahun belakangan, sekali lagi, jejaring persahabatan dan pertemanan sepermainan sesama rumpun Melanesia itu, menunjukkan solidaritasnya seperti dulu. Tujuh negara Pasifik, Vanuatu, Solomon Islands, Marshall Islands, Palau, Tonga, Nauru, dan;Tuvalu mengangkat isu Papua di PBB, seperti pada tahun 2000.

Tetapi belakangan kita mendengar perubahan sikap pada Nauru dan Marshall Islands. Mereka semakin lama semakin condong pada sikap Papua Nugini dan Fiji, yang lebih menekankan pendekatan kesejahteraan mengenai isu Papua dalam membangun hubungan dengan Indonesia. Franz Albert Joku sendiri kini berada di pihak Jakarta.

Maka kembali kata-kata Pace Hat terngiang di telinga sebagai pertanyaan: apakah persahabatan dan jejaring teman sepermainan dengan sesama negara Melanesia itu sesungguhnya hanya jalan kembali ke masa lalu dan bukan ke masa depan? Kemanakah masa depan akan tertuju?

Saya jadi teringat pada apa yang dikatakan Pace Hat di lain kesempatan. Ia suatu kali pernah berkata bahwa perjuangan untuk meluruskan sejarah Papua dan mencapai pembebasannya adalah perjuangan jangka panjang. Dalam perjalanannya diperlukan keteguhan sikap dan berpegang pada prinsip dan tujuan. Dalam perjalanan pasti akan ada banyak godaan. Dan sejarah menunjukkan kelompok-kelompok Papua sering dikooptasi sehingga perjuangan menjadi lemah.

Menurut Pace Hat, peristiwa kooptasi itu terutama muncul saat diri begitu terpojok. Ada banyak teman seperjuangannya yang terpaksa menerima kooptasi. Tidak hanya di medan diplomasi tetapi juga di medan pergerakan, di hutan-hutan dan di dunia aktivis.

Selanjutnya, kata dia, ada pihak yang berkepentingan menciptakan konflik dan memeliharanya. Sebab, ketika konflik terjadi, orang bisa mencuri dengan gampang. “Saat dulu ketika kecil, ibu saya suka bikin kue. Ketika saya mau ambil itu kue, saya ambil kucing beberapa ekor dan masukkan mereka ke dalam rumah. Ketika mereka berkelahi, saya ambil kue.”

Bagi Pace Hat, bahwa masa depan Papua tidak sesederhana referendum dan tidak semudah pilihan berpisah atau tidak. Pace Hat tidak pernah melihat solusi ekstrem sebagai solusi. Komitmen rakyat Papua adalah penyelesaian secara damai, bukan perang.

Pintu dialog harus terus dibuka. Dan ada berbagai pilihan, tidak terbatas pada dua titik ekstrem. Mimpi merdeka, Otsus dalam NKRI atau menjadi bagian dari negara federal, hanyalah beberapa opsi yang mungkin diletakkan di atas meja. Dan melalui dialog semua pilihan-pilihan itu dapat dibicarakan.

Tetapi siapa yang harus pertama kali mengulurkan tangan untuk memulai dialog?

Pace Hat berdiri. Dia baru ingat istrinya memasak ikan kesenangannya di rumah. Ia buru-buru pamit hendak pulang, ke rumahnya yang hanya beberapa menit perjalanan dari kedai kami berbincang. Ia berjanji lain kali akan mengundang kami makan siang di rumahnya.

...Baca ini: Songsong referendum Bougainville 2019 


Posted by: Wim Geissler
Copyright ©Qureta "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar