Sabtu, 23 Juni 2018

Baru Melihat Makna Kupatan, Tradisi Islam yang Penuh Filosofi

Buletinnusa -
Tradisi Bakda Kupat atau Kupatan banyak dilakukan umat muslim di Pulau Jawa pada tanggal 8 Syawal atau satu pekan setelah Idul Fitri. (foto: dok-ib)
BLORA. Bukan Indonesia namanya kalau tidak memiliki beragam budaya dan tradisi. Inilah yang membuat Indonesia kaya, seperti halnya budaya lebaran atau bakda kupat (ketupat-red) yang sejak dahulu sudah menjadi tradisi bagi umat islam khususnya yang berada di pulau Jawa hingga sekarang.

Bakda Kupat atau Kupatan bagi kaum muslim di Jawa, termasuk Blora merupakan lebaran kedua setelah Idul Fitri. Perayaan ini pada umumnya dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri. Jika Idul Fitri merupakan lebaran pertama setelah sebulan berpuasa ramadan, maka Bakda Kupat adalah lebaran kedua setelah satu pekan berpuasa sunah syawal.

Dalam perayaan ini, masing-masing keluarga membuat dan menyajikan makanan kupat atau ketupat lengkap dengan sayurnya. Ada juga yang dilengkapi dengan lepet, lontong, bahkan lupis.

Khusus di Kabupaten Blora, sejak pagi di tanggal 8 Syawal 1439 H atau 22 Juni 2018 itu masing-masing keluarga membawa menu kupat nya dalam sebuah tampah atau baskom menuju musholla atau masjid terdekat. Mereka berkumpul untuk berdoa seraya bersyukur kepada Allah SWT karena sudah selesai melaksanakan puasa syawal.

Wujud syukur itu diwujudkan dengan hidangan kupat sayur yang selanjutnya dimakan bersama-sama. Ada pula yang diantarkan kepada para tetangga dan sudara sebagai bentuk penghormatan dan rasa saling mengasihi.

Makan kupat bersama di serambi masjid. 
Seperti yang rutin dilaksanakan di Masjid Al Yahya lingkungan Dukuhan RT 01 RW 03 Kelurahan Mlangsen Blora, Jumat (22/6/2018). Di masjid ini, rutin setiap tahun diselenggarakan tradisi Bakda Kupat. Seluruh umat muslim setempat berbaur bersama menikmati kupat sayur di serambi masjid.

Jika menilik sejarah dan filosofi Bakda Kupat dari berbagai sumber, tradisi ini pertama kali diajarkan oleh salah satu Wali Songo, penyebar agama Islam di pulau Jawa yakni Raden Mas Sahid atau yang biasa disebut dengan Sunan Kalijaga di masa Kerajaan Demak.

Dimana Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali Bakda, yaitu Bakda Idul Fitri dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Idul Fitri. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.

Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan dan Laku papat artinya empat tindakan.

Ngaku Lepat
Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membudaya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khusunya orang tua.

Laku Papat
Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran.
Empat tindakan tersebut adalah:
  1. Lebaran, bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar.
  2. Luberan, bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia.
  3. Leburan, maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.
  4. Laburan, berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Sedangkan filosofi dari ketupat atau kupat itu sendiri.
  1. Mencerminkan beragam kesalahan manusia.
    Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat ini.
  2. Kesucian hati.
    Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.
  3. Mencerminkan kesempurnaan.
    Bentuk ketupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.
  4. Karena ketupat biasanya dihidangkan dengan lauk yang bersantan, maka dalam pantun Jawa pun ada yang bilang KUPAT SANTEN, Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf).
Jay Akbar di majalah Historia edisi Agustus 2010 pernah mengutip pendapat H.J. de Graaf dalam Malay Annals. Menurut Graaf, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak di bawah Raden Patah awal abad ke-15. Kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. (rs-infoblora)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar