Sabtu, 16 Juni 2018

PIALA DUNIA, FANATISME, KULTUS, DAN KITA

Buletinnusa


Catatan Rudi Fofid-Ambon


Ambon, Malukupost.com - Nyong Ambon Dave Latuny adalah seorang rapper, pengajar, dan penggemar sepakbola.  Dia mengidolakan Timnas Belanda.  Sebagai fan berat Belanda, Dave kecewa bintang-bintang pujaannya gagal tampil pada babak final Piala Dunia 2018 di Rusia.  Pada beberapa status facebook, Dave mencetuskan kekecewaannya.

"Seng ada kamong, beta seng akan nonton Piala Dunia 2018," tulis Dave sambil mengirim foto "Tim Oranye", 2 Juni lalu.

Pada 16 Juni, Dave mengganti foto profil facebook.  Foto dengan singa di dada itu, diberi bingkai Australia.  Beberapa jam kemudian, Dave yang pernah mengajar selama setahun di Australia itu,  menjelaskan alasan mendukung Australia.

"Saya akan selalu menjadi penggemar berat dari tim nasional sepak bola Belanda. Namun, karena kampanye mereka yang mengerikan selama kualifikasi piala dunia mengakibatkan absen dari turnamen musim panas ini, saya harus mencari alternatif yang berbeda untuk merasakan suasana kompetisi sepak bola terbesar di dunia," demikian dikutip dari penjelasan Dave.

Orang bisa saja menuduh Dave tidak konsisten, kutu loncat, bukan fan sejati, dan tuduhan minor lain. Akan tetapi, bagi saya, sikap dan keputusan Dave adalah sikap warga  masyarakat sepakbola sejati.  Saya suka sikap dan keputusannya.  Penonton sebagai sebuah komponen pertandingan, seyogianya memajukan sepakbola, bukan terjerat dan terjebak dalam fanatisme klub, negara, apalagi warna kulit, dan ehm, agama.

Jadi, Belanda tetap di hati Dave.  Berhubung kali ini Belanda hanya jadi penonton, maka mendukung Australia adalah bentuk partisipasi yang yang patut saya hormati.  Dave adalah salah satu contoh orang yang tetap menginjakkan kaki pada realitas olahraga dan segenap sensasi, dan tidak tenggelam dalam pengkultusan sebuah negara (bandingkan banyak pro-kontra di media sosial, ketika orang sudah tidak bisa membedakan mana Tim Sepakbola Belanda,  mana Kerajaan Belanda, dan mana Kolonial Belanda).

Ambon, Malukupost.com - Nyong Ambon Dave Latuny adalah seorang rapper, pengajar, dan penggemar sepakbola. Dia mengidolakan Timnas Belanda. Sebagai fan berat Belanda, Dave kecewa bintang-bintang pujaannya gagal tampil pada babak final Piala Dunia 2018 di Rusia. Pada beberapa status facebook, Dave mencetuskan kekecewaannya.
Dave Latuny (foto fb dave)
Kepada Dave, catatan ringan ini saya tulis. Sikap dan keputusannya adalah sebuah pintu masuk untuk memandang Piala Dunia 2018 di Rusia secara lebih luas dari kamar ganti, line up, bahkan stadion.  Mari memandang Piala Dunia di Rusia dengan rasa sayang pada cabang olahraga sepakbola. Sepakbola adalah sebuah produk kebudayaan.  Sepakbola telah membedakan manusia dan hewan. Sepakbola telah membangun persahabatan, persaudaraan, kesetaraan, perdamaian, anti diskriminasi, apalagi rasdiskriminasi. Sepakbola adalah peri kemanusiaan, dan sepakbola adalah sebuah komunikasi yang turut melatih dan membangun spiritualitas.

Memperluas perpektif Dave dari Belanda ke tetangga Maluku yakni Australia, saya perlu membebaskan diri
dari semua negara yang sedang berjuang di Rusia.  Katakan saja, saya adalah pendukung semua tim dan pendukung keindahan sepakbola.  Maka untuk Piala dunia 2018, harapan saya tidak tunggal, bahkansungguh bercabang-cabang. Semua ini, sungguh terkait dengan dominasi dan supremasi dalam dunia olahraga yang sungguh emosional.  Mempertahankan atau mematahkan dominasi, inilah adrenalin seluruh dunia bisa naik-turun. Saya urut saja satu demi satu.  Pembaca dan penggemar sepakbola, bisa menembah daftar panjang, sesuai pengamatan masing-masing.  Saya hanya melihat beberapa saja.

Pertama: Tuan Rumah
Rusia adalah tuan rumah.  Dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia, tim juara muncul dari tuan rumah.  Mereka adalah Uruguay (1930), Italia (1934), Inggris (1966), Jerman (1974), Argentina (1978), dan  Prancis (1998).   Sudah 20 tahun, tak pernah tuan rumah tampil pada babak final.  Jadi, harapan tertuju pada Rusia. Jangan tunda.  Ayo Rusia. 

Kedua: Juara Baru
Kalau Rusia bisa menjadi penyelenggara sekaligus juara, maka Rusia akan mencatatkan dirinya sebagai juara baru.  Selama ini, baru delapan negara yang menggondol piala dunia, yakni Brazil, Jerman, Italia, Uruguay, Argentina, Spanyol, Inggris, dan Prancis.   Sebelumnya, hanya lima negara yang mendominasi.  Barulah tahun 1966, Inggris tampil sebagai juara baru.  Sebelum berakhir abad ke-20, Prancis juga menjadi tuan rumah Piala Dunia 1998, dan tampil sebagai juara baru.   Pada abad ke-21, masih segar dalam ingatan, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Spanyol tampil cantik untuk mengukuhkan diri sebagai negara kedelapan yang membawa pulang Piala Dunia. Nah, lagi-lagi Rusia.

Ketiga: Kutuk
Hanya dua negara yang pernah menjadi juara Piala Dunia dua kali berturut-turut, yakni Italia (1934 dan 1938) dan Brazil (1958 dan 1962).  Sejak 1962, juara bertahan bagaikan kena kutuk.  Siapa juara bertahan, dia tak bisa juara pada musim berikut.  Nah, Jerman sebagai juara bertahan, sedang berada dalam usaha membebaskan diri dari kutuk tersebut.  Jerman patut didukung untuk itu.  Kalau Jerman bisa juara di Rusia, barulah kita bermimpi lagi tentang hattrick.   Selama belum bisa keluar dari kutuk ini, jangan dulu mimpi hattrick.  Ayolah Jerman.

Keempat: Dominasi Tiga Besar
Ada tiga negara pernah menjadi juara paling banyak yakni Brazil (5 kali), Jerman (4), Italia (4).  Karena Italia gagal tampil di Rusia, maka rivalitas papan atas ada pada Jerman dan Brazil.  Brazil tentu berambisi menjadi negara pertama yang menjadi juara sebanyak enam kali.  Untuk menghalangi laju Brazil, harapan satu-satunya ada pada Jerman.  Jerman punya motivasi kuat untuk menyamai Brazil.  Nah, andai Jerman dan Brazil bertemu, maka Rusia akan jadi "neraka".

Kelima: Eropa vs Amerika
Selama 20 kali penyelenggaraan Piala Dunia, maka hanya wakil Benua Eropa dan Benua Amerika yang sukses memboyong Piala Dunia.  Benua Amerika diwakili Uruguay (2), Brazil (5) dan Argentina (2).  Jadi secara total, Benua Amerika membukukan sembilan kali juara dunia.  Benua Eropa unggul tipis dengan 11 kali juara yakni Jerman (4), Italia (4), Inggris (1). Prancis (1) dan Spanyol (1).  Nah, terpaut dua angka ini bukan perkara gampang.  Tim-tim Amerika perlu bekerja keras untuk memboyong piala dunia kali ini, supaya tidak tertinggal terlalu jauh.  Sebaliknya, tim-tim Eropa terpacu untung membuang Amerika di belakang. 

Keenam: Bukan Eropa dan Amerika
Piala Dunia 2018 di Rusia akan menjadi spektakuler, andai saja tim-tim dari Benua Asia, Afrika dan Australia-Oceania bisa tampil secara mengejutkan di babak semifinal dan final.  Kita tentu berharap keajaiban pada Arab Saudi, Mesir, Iran, Maroko,  Senegal, Tunisia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia.   Untuk apa berharap juara bukan dari Eropa dan Amerika?  Tentu penting bagi pemerataan.  Jatah 32 tiket pada babak final ditentukan FIFA berdasarkan prestasi kawasan.  Jika kawasan di satu benua memperlihatkan prestasi berkilau, maka sangat terbuka kemungkinan, jatah Eropa dan Amerika dikurangi, dan dialihkan ke benua yang berkilau. Jadi, meskipun kebanyakan penonton berpihak kepada delapan negara berbintang juara dunia, namun marilah merawat harapan-harapan kecil bahwa bola itu bundar, dalam olahraga segala sesuatu bisa terjadi, bahkan mujizat itu nyata.

Ketujuh: Indonesia
Sambil menonton Piala Dunia 2018, sambil mendukung tim kesayangan dengan segenap sorak-sorai, marilah merenung.  Kapan kita nonton Timnas Indonesia  pada babak final? Kapan kita melihat Indonesia vs Brazil, Indonesia vs Jerman, Indonesia vs Italia, Indonesia vs Belanda?

Pertanyaan sejenis bisa kita perkecil.  Kapan kita di Maluku bisa menyaksikan Pattimura-Pattimura Muda dari kampung-kampung dan pulau-pulau kecil di Maluku tampil di Pekan Olahraga Nasional (PON)?  Kita bisa bikin pertanyaan yang lebih sederhana: Apa kabar PSA?  Bangkit dong!

Nah, bagaimana Indonesia bisa tampil pada babak final Piala Dunia, perlu kita bahas secara sendiri.  Tetapi untuk apa segenap kemeriahan sepakbola sampai di kampung-kampung di Maluku dan Nusantara jika tidak bisa kita wujudkan sebuah mimpi yang sudah lama kita nyanyikan dalam lagu gubahan Saridjah Niung (Ibu Soed):

"Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa"

Ya, kapan bendera merah putih berkibar di seluruh Pantai Indonesia, di atas pohon-pohon sagu dan kelapa, bubungan rumah dan gedung, di kapal-kapal dan keramba?  Ah, mari buang mata ke Rusia, dan kelak kita kembali ke jantung sepakbola kita sendiri.  Mari menonton tanpa saling menindas, sebab sejatinya, sepakbola itu damai.

Salam sepakbola!

Ambon, 16 Juni 2018

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar