Senin, 29 Juli 2019

RINDU DENDAM DI WAISISIL NAE-NAE TOTU

Buletinnusa

Catatan Rudi Fofid-Ambon

Awal tahun 1984, kami 22 mahasiswa semester dua Fakultas Pertanian Universitas Pattimura bertolak ke Saparua. Kami tingal di Saparua Kota, Tiouw, dan Paperu.  Ketua angkatan 1983 Jerry Luhukay, menjadi penggagas sekaligus penjamin bahwa acara kami bisa terlaksana di Saparua.

Kami memang membentuk sebuah kelompok aksi bernama Dobeldi (Berdoa, Belajar, Mengabdi).  Kami bekerja sama dengan SMA Negeri Saparua, dan para raja, dan pendeta.  Misi kami adalah "penyuluhan pertanian" dengan fokus, memanfaatkan setiap jengkal tanah pekarangan rumah sebagai sumber pangan dan obat. 

Memang, di antara kami ada beberapa penyuluh pertanian lulusan SPMA Ambon, yang punya reputasi nasional. Akan tetapi, mayoritas kami lulusan SMA, dan tidak punya latar belakang yang kuat soal pertanian. Kami baru selesai semester pertama, dan baru belajar ilmu dasar, seperti di SMA.  Belum kukuh sebagai ``mahasiswa pertanian`` yang punya kapasitas sebagai ``penyuluh``. 

Kami sadari itu,  sehingga sebelum turun ke Saparua, kami masing-masing orang membekali diri dengan informasi teknis, mengenai semua jenis tanaman yang dibudidaya di Saparua.  Kami sadari, petani Saparua bukan petani kacang. Justru ahli pertanian Prof Dr Ir Toyib Hadiwijaya pun datang belajar okulasi rambutan dan jeruk di Saparua, atau riset cengkih di Haria, sebelum menulis buku Cengkih.

Singkat cerita, berkat dukungan semua pihak di Saparua, kegiatan kami berjalan dengan baik.   Kami tidak tahu, bahwa kakak-kakak kami di kampus mengecam kami, sebab kami memang masih kacang-kacang dan lancang bikin kegiatan bertajuk ``penyuluhan``. 

Beta coba ingat-ingat, waktu itu, siapa saja yang pergi ke Saparua.  Saya tulis saja di sini. Jerry Luhukay, Markus Luhukay, Johan Manuhutu, Leonora Tomasoa, Any Tahitu, Em Soselissa, Salim Basalamah, Sudirman Radjaloa, Muhammad Arsad Hadun, Berty Solisa, Lydia Parera, Rita Sihasale, Christian Herman, Agus Raharusun, Faidah Azus, Fauziah Hulopy,  Ely Leunupun, dan saya Rudy Fofid.  Ada empat nama lagi, tetapi saya sudah lupa, siapa gerangan. 

Waktu itulah, beta tinggal di Keluarga Om Jop Ramschie, lorong masuk Jembatan Batu. Makanya  beta kenal Robon, Rena, Janti, Roland, Agith, kakak beradik.   Keluar dari lorong, pasti mampir di Helmy dan Heldy Paulus.  Juga bisa mampir di Manteri Tuhulele.  Makanya bisa kenal Ida Tahulele dan Nis Tuhulele. Belakangan, beta kenal adik mereka Aldo Tuhulele. 
RINDU DENDAM

Satu hari, katong Kelompok Dobeldi dari Pantai Waisisil menuju Paperu. Hari pas magrib. Mati-mati gelap.  Katong berjalan bekelompok dua tiga orang. Beta dengan lelaki TNS Elia Leunupun berjalan paling belakang. 

Dari jauh, beta sudah lihat, nae-nae Totu,  rumah pertama tangang kanan, ada seorang Oma berdiri. Setiap kelompok memberi salam, dan Oma membalas dengan ramah.

Giliran paling akhir adalah beta dengan Elia.  Mungkin Oma lihat katong dua paling belakang, Oma langsung cegat. 

"Nyong dong dari mana?" Begitu pertanyaan Oma. 

Pertanyaan ini, di berbagai tempat di Maluku, sering menimbulkan salah tafsir, baik di Maluku Utara, Tengah, sampai Tenggara.  Sampai oras ini, pertanyaan ini masih secara santun dikemukakan dalam perjumpaan awal, baik diucapkan dalam Melayu Maluku, maupun dalam bahasa daerah. 

"Katong baru dari Waisisil, Oma," jawab beta dengan Elia. 

Oma nampak tidak puas. Bukan itu, jawaban yang diharapkan.  Akhirnya, Oma secara bijak mengubah pertanyaan. 

"Nyong dua, asal dari kampung mana?"

Beta mengaku orang Kei, sedangkan Elia mengaku orang TNS.  Sontak Oma maju dua langkah, langsung merangkul beta dengan Elia. 

"Sioh, beta rindu dendam! Beta juga orang Tenggara, kawin di sini dan seng pernah ke Tenggara.  Beta fam Kolijey,"  kata Oma dengan penuh semangat. 

Sejak perjumpaan dengan Oma Kolijey, beta terganggu sekali dengan diksi "rindu dendam".   Memang, Rindu Dendam sudah beta dengar, sebagai judul buku JE Tatengkeng.  Akan tetapi, beta belum baca.  Beta sendiri punya pemahaman, rindu dendam adalah hasrat untuk membalas dendam yang menggebu-gebu. Semacam dendam membara. 

Karena pemahaman beta seperti itu, maka apa yang disebut Oma Kolijey, sangatlah mengganggu.  Sebab itu, ketika sampai di Ambon, beta cari Kamus Umum Bahasa Indonesai yang disusun Bapak Kamus Indonesia WJS Poerwadarminta.  Ternyata, beta salah besar.  Rindu dendam adalah rindu yang sangat dalam. 

Sejak itu, beta beberapa kali menulis puisi menggunakan kata rindu dendam.   Belakangan beta dengar juga lirik lagu Franky Sahilatua yang juga menggunakan diksi yang sama.  Hanya saja, Franky menggunakannya secara berbeda.  Dendam rindu. 

"Kunyanyikan sebuah lagu/ Bagi hati yang dendam rindu/ Tumbuhkah lagi kembang yang ranum/ Hirup sejuk udara kota ini...ii..," demikian sepenggal lirik lagu itu" (Lagu: Di Atas Viaduk Cikapundung).
Cerita Oma Kolijey dan diksi dendam rindu ini pernah beta tulis di FB.  Hanya, tidak selengkap ini.  Beta tulis ulang saja, supaya jadi kenangan kecil.  Mungkin tidak penting untuk sejarah besar, tetapi dengan catatan kecil ini, beta cuma mau bilang, bahwa di kampung-kampung, ada banyak sekali sumber kearifan dan kecerdasan.  Seringkali, beta ilang jalan, ilang orientasi, menganggap segala kearifan dan kecerdasan ada pada hal-hal yang akademis, sampai lupa bahwa, kampung halaman adalah segala-galanya. 

Beta punya sejumlah kisah-kisah kecil di Saparua, beta pernah menulis beberapa.   Semoga sepenggal kisah ini bisa berguna. Paling tidak, basudara yang baca bisa lupakan tulisan ini, dan kembali merenung pengalaman masing-masing, pada masa kini maupun masa lalu.   Cerita-cerita kecil, kenangan-kenangan kecil itu, sayang kalau tidak ditulis.  Mungkin tidak penting untuk hari ini, tetapi kelak berguna bagi anak-cucu. 

Danke banyak bagi yang sudah baca.  Salam!

Kaki Gunung Kie Matubu, Tidore, 29 Juli 2019
Penulis adalah redaktur pelaksana Media Online Maluku Post


Tidak ada komentar:

Posting Komentar