Rabu, 10 Juli 2019

Selamat Jalan Ferry Marisan, aktivis HAM dan Seniman Papua

Buletinnusa
Ferry Marisan saat tampil di Uncen suatu kesempatan – youtube
Jayapura, – Lengkingan suaranya memang mirip mendiang seniman musik tradisional Papua Arnold C Ap. Kemampuannya memetik gitar dan melodi khas Papua membuat simpatisan grup Mambesak kembali mengingat sosok Arnold C Ap saat Ferry Marisan membawakan dan menyanyikan lagu.

”Seolah-olah sosok Arnold Ap lahir kembali dalam diri seorang Marisan,” kenang Aloysius Renwarin saat dihubungi Jubi, Sabtu (6/7/2019) pagi.

Ferry Marisan punya dua cara mengadvokasi kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua, pertama lewat laporan-laporannya dan kedua lewat lagu-lagu.

“Saat Marisan bersama Black Paradise menyanyikan lagu lagu Mambesak pada 2000 di depan museum Uncen, membuat warga Abepura tersentuh dan menangis,” kata Renwarin mantan rekan kerja dan juga mantan Direktur Elsham Papua.

Pagi ini Sabtu (6/7/2019) lonceng Gereja Kristen Injili (GKI) Lembah Yordan Emereuw Organda, Padangbulan, Abepura dibunyikan karena kepergiannya. Ferry Marisan yang tercatat sebagai anggota jemaat gereja itu. Ferry Marisan adalah anggota Badan Pengawas Keuangan Gereja (BPKG) GKI Lembah Yordan.

Langkahnya sebagai human rights defender dikenal saat mendiang Fery Marisan menjadi salah satu koordinator aksi demo pertama di Tanah Papua pada saat masa orde baru, tepatnya di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) pada Agustus 1995.

“Demo itu melibatkan sebanyak 800 mahasiswa se Kota Jayapura. Ini demo pertama sejak 1969 di Kota Jayapura,”kata Aloysius Renwarin mengenang rekan sekerjanya itu.

Lelaki kelahiran kampung Noribo, pulau Numfor 1971 bersama rekan seangkatannya Yohanes Rumere dan almarhum Obed Rumere, kemudian bergabung dengan Irian Jaya Peace and Justice. Lembaga tersebut kemudian menjadi Elsham Papua pada 1998.

“Demo itu dilakukan untuk merespon laporan Uskup Herman Muninghoff yang telah memberikan laporan pelanggaran HAM berat kasus Bela dan Alama di sekitar areal kerja PT Freeport Indonesia,” kata Renwarin.

Alumni SMA Oikumene, Manokwari itu melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) jurusan antropologi, kemudian menikah dengan Pendeta Yembise. Selama hidupnya, ia pernah mendapat ancaman pembunuhan, tepatnya usai mengikuti pelatihan HAM di Geneva. Swiss.

“Ferry pernah diancam dan mau dibunuh gara gara memberikan keterangan bahwa untuk membawa kasus HAM ke PBB butuh proses dan mekanisme yang sangat panjang. Pendapat itu langsung mendapat respon negatif sehingga mendapat ancaman,” kata Renwarin.

Mendiang Ferry Marisan tercatat pernah menjabat Direktur Elhsam Papua. Selain itu ia aktif menulis lagu dan kampanye lingkungan bersama Grup Musiknya Beyuser. Bersama grup Beyuser pernah tampil di Sydney Australia menampilkan musik-musik dari grup Mambesak.

Ferry Marisan memang sudah lama menderita penyakit gula, sehingga komplikasinya bisa ke mana-mana bisa ke paru-paru maupun hati. “Sudah satu bulan lebih mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Abepura,” kata dr. Trayanus Yembise yang juga ipar Marisan saat dihubungi Jubi,Sabtu (6/7/2019) pagi melalui telepon selular.

Dia menambahkan almarhum meninggal Sabtu (6/7/2019) subuh dan jenazahnya di semayamkan di rumah duka keluarga Pdt.Yembise di kompleks Sekolah Tinggi Thelogia (STT) IS. Kijne, jalan Trikora Abepura.

“Saya juga belum mengetahui rencana pemakaman nanti saya beritahukan lebih lanjut,”kata Yembise.

Ferry Marisan dalam kenangan rekan sekerja dan sahabat

Mantan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua Ferdinand Marisan (48) meninggal dunia pada Sabtu,6 Juli 2019 di RSUD Abepura, Kota Jayapura, Papua karena penyakit gula yang lama dideritanya.

Tanah Papua dan pemerhati HAM dan budaya merasa kehilangan atas kepergiannya. Ungkapan belasungkawa ditujukan kepada almarhum dan keluarga, bahkan di laman media sosial dukacita disampaikan sejumlah anak Papua dengan memajang foto dan ungkapan doa.

Mantan Sekretaris Elsham Papua, Paul Mambrasar kepada Jubi, Sabtu pagi, 6 Juli 2019 mengatakan, Ferdinand Marisan atau yang lebih dikenal dengan Ferry Marisanadalah sosok yang getol dan konsisten memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Pada masa transisi dari Orde Baru ke reformasi, 1998, dia bersama kawan-kawannya turun ke jalan untuk memerotes ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ferry adalah direktur ELSHAM Papua periode 2008 hingga 2017.

“Dia konsisten memperjuangkan penegakan HAM dan pengadilan HAM di Tanah Papua, bahkan kasus Biak Berdarah juga dia perjuangkan,” kata Paul Mambrasar.

Paul berharap agar anak-anak muda Papua melanjutkan perjuangan beliau.

Sem Rumbrar adalah salah satu mitra kerja Ferry Marisan di ELSHAM. Rumbrar mengenal Ferry selama sekitar 20 tahun.

Rumbrar mengatakan, selain melalui ELSHAM Papua, Ferry Marisan juga getol mengkampanyekan hak-hak asasi manusia Papua melalui musik, yaitu grup Black Paradise. Namun, seiring waktu berjalan personil Black Paradise memilih jalan berbeda, sehingga Ferry seorang diri meneruskan spirit musik Black Paradise.

Dia lalu menghidupkan Black Paradise dengan nama baru Eyuser. Melalui Eyuser, Ferry menggiatkan kampanye hak-hak orang asli Papua dalam lagu-lagunya hingga ke Eropa dan Pasifik. Dia tetap konsisten memperjuangkan hak-hak asasi manusia hingga penyakit merenggut nyawanya, dan meninggalkan istri dan dua anak yang sedang kuliah di Filipina.

Direktur Ekologi Papua Titus Kris Pekei menyampaikan belasungkawanya. Dia mengaku merasa kehilangan atas kepulangan penerus suara Mambesak setelah Arnold Ap.

“Suara Mambesak nonstop yang pernah hadir dan menghibur komunitas perajin noken di Hari Noken I dan II di Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Majelis Rakyat Ppua (MRP) terpancar jiwa musisi secara alami, penuh penghayatan, selamat jalan untuk selamanya!” kata Titus Pekei.

“Atas nama komunitas perajin noken Papua di 7 wilayah adat Papua, merasa kehilangan seorang Ferry Marisan,” lanjutnya.

Titus Pekei mengaku Ferry Marisan pernah hadir dan memberi semangat bersama alunan musik khas Papua. Salah satu lagunya berjudul “Domi Dou Ani Damoutopa Tugu-Tugu Tai” yang dibawakan saat hari ulang tahun noken pertama 4 Desember 2013 di auditorium Universitas Cenderawasi dan hari noken kedua 4 Desember 2014 di pelataran kantor MRP. Keceriaan musisi penerus Mambesak hadir menyemanggati kaum perajin mama-mama Papua.

“Kami merasa kehilangan, selamat jalan, hidup kekal dalam damai. Doa dan pujian komunitas perajin noken menyertaimu,” kata Titus Pekei.

Mantan Pemred Jubi Dominggus Arnold Mampioper bercerita, Fery Marisan adalah motor penggerak pertama demonstrasi PT Freeport tahun 1996 dan 1997. Dia bersama mahasiswa se-Kota Jayapura berdemo ke DPR Papua untuk memerotes pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Sejak itulah demo Freeport serentak dilakukan oleh mahasiswa Papua di Yogyakarta, Salatiga, Semarang. Itulah pertama kali Freeport didemo oleh mahasiswa Papua se-Indonesia.

“Demo ini pula dirancang oleh John Rumbiak mantan aktivis dan Koordinator Elsham Papua,” katanya.

Salah satu teman Ferry Marisan, Dominggas Nari mengharapkan agar anak-anak Papua melanjutkan perjuangan almarhum.

“Kita merasa kehilangan. Selama kitong hidup mungkin kitong bisa melanjutkan perjuangannya,” kata Dominggas. (*)


Copyright ©Jubi_1 & Jubi_2 "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar