Kamis, 26 April 2018

Dari Pattimura Ke Makam Residen Van Den Berg (1)

Buletinnusa

 Catatan oleh Rudi Fofid

Ada beberapa anak muda Melihat Pattimura ditangkap Oleh orang Belanda Anak-anak itu berjalan diam-diam Sambil menangis tersedu-sedu Melihat pahlawannya disiksa Sampai mati Pattimura rela mati digantung Dengan tali keras Tapi wajah Pattimura tidak sakit Dan tidak marah Tual, 13 Mei 2016 Puisi sedehana di atas berjudul “Anak-Anak Pattimura”. Penyairnya Helena Victoria Fofid. Dia menulis puisi ini dua tahun lalu, ketika masih duduk di kelas lima SD Karel Sadsuitubun, Ohoijang, Langgur. Tentu saja sebagai ayahnya, saya kaget. Apa yang dia tahu tentang Pattimura? Saya belum pernah bercerita apapun tentang Pattimura kepada Helena, tetapi pada puisinya ada dua larik “Anak-anak itu berjalan diam-diam/ Sambil menangis tersedu-sedu”. Juga ada diksi “tali keras”, “Pattimura tidak sakit”, dan “tidak marah”. Dari mana imajinasi ini? Saya baru ingat, pengenalan saya terhadap sejarah Pattimura yang rumit, juga bermula pada masa kecil, di Tual. Waktu itu, Thomas Matulessy, Said Perintah, Anthony Rhibok, Philip Latumahina, dan gadis bernama Christina Martha Tiahahu mengenakan baju merah-merah. Kain berang merah diikat di lingkar kepala. Mereka berkumpul menjelang subuh, di suatu tempat di Langgur, Kei Kecil, Maluku Tenggara. Sebelum fajar pecah di timur, Empat pendekar dan seorang srikandi, berlari membawa obor sambil meneriakkan pekikan peperangan nan heroik. “Ya ya ya ya ya yaaaa!” Suara Thomas Matulessy berkumandang di udara memecah kesunyian subuh. Kawan-kawan seperjuangan yang berlari di sisi, menyahut dengan tak kalah heroik. “Huuuuu!” Setiap jarak 50 sampai 100 meter, pekikan itu diulang-ulang. Kontan, penduduk Kei yang mendengar suara para pahlawan, langsung terbangun. Mereka bangkit dari tidur, meninggalkan rumah-rumah. Dari sisi kiri-kanan jalan, melihat sang pahlawan melintas di jalan raya. Setiap kali terdengar pekikan Thomas Matulessy, penduduk sepanjang jalan ikut menyahut. “Huuuuuu!” Suasana pagi menjadi meriah karena dari Langgur, Ohoijang, Watdek, Kiom, dan Wearhir, rombongan terus sampai ke jantung Kota Tual. Penduduk makin banyak menyambut di sepanjang jalan. Puncaknya adalah ketika Thomas Matulessy dkk memasuki Lapangan Lodar El, Tual. Penghormatan secara militer pun dilakukan. Thomas Matulessy menyerahkan obor kepada Bupati Maluku Tenggara. Obor induk pun dinyalakan. Para pelajar, anggota pramuka, ABRI, Polri, PNS, dan seluruh hadirin menyanyikan lagu-lagu dengan penuh semangat. Pahlawan perkasa, Pahlawan Pattimura, Pahlawan cengkeh dan pala Menentang penjajah, bela rakyat Maluku, ciptakan negara merdeka Parang salawaku, kain berang di tubuh, pelambang jiwa rakyat Maluku Serentak membela dengan gagah perkasa, penjajah hancur binasa Penjajah memakai tipu daya, diajak berunding berbicara Akhirnya ditangkap dan disiksa, digantung karena nusa-bangsa Demikian salah satu lirik lagu bertema Pattimura yang paling favorit dinyanyikan secara gegap-gempita. Masih ada pula beberapa lagu lain, yang dikumandangkan sebelum matahari terbit. Semuanya tentang kepahlawanan. Demikianlah situasi perayaan hari Pattimura di ibukota kabupaten Maluku Tenggara, 15 Mei 1973. Prosesi obor dari Langgur ke Tual saat itu, diselenggarakan sesuai petunjuk Pemerintah Provinsi Maluku. Saya masih duduk di kelas tiga SD Naskat Mathias Tual. Pengalaman mengikuti prosesi obor Pattimura itu masih terulang tahun 1974 dan 1975. Sejak itu, saya menyukai sosok Thomas Matulessy, jatuh cinta pada heroismenya, upacara peringatan, maupun lagu-lagu. Di balik heroisme itu, tiba-tiba beredar sebuah lagu teramat pedih. Judulnya, “Sejarah Thomas Matulessy” dinyanyikan oleh kelompok Rame Dendang pimpinan Kace Hehanussa.

Helena Victoria di tugu peringatan Pattimura di Taman Makmur Ambon.
(Foto Rudi Fofid)
“Sejarah Thomas Matulessy Amatlah sedih Tagal cinta anak cucu e Digantung mati Dengan parang salawaku e Sioh mama e Menentang kaum penjajah e Di Pantai Waisisil e Undur e, undur e Jangan undur e Mari maju sama-sama e Rakyat Lease” Rasa akrab dan intim dengan Thomas Matulessy semakin kuat setelah guru mata pelajaran sejarah memaparkan Sejarah Perjuangan Thomas Matulessy dkk dalam Perang Saparua (1817), dan tragedi penggantungan di halaman belakang Benteng Nieuw Victoria (Desember 1917), atau di depan Gedung Ambon Raad van Justitie (dekat kolam air mancur, depan Kantor Sinode GPM, sekarang). “Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura bersama kawan-kawan, adalah para pahlawan yang mula-mula berjuang melawan penjajah. Kabar perang Saparua inilah yang sampai di telinga Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa. Diponegoro kemudian melakukan perlawanan serupa tahun 1825-1830,” demikianlah paparan guru-guru sejarah sesuai referensi versi Pemerintah Indonesia. Sungguh membanggakan memandang pahlawan gagah perkasa di sudut Lapangan Segitiga, dalam wujud monumen rupa Thomas Matulessy. Ia memegang parang dan salawaku, dengan kain berang di kepala. Dari tempat itu, bisa pula memandang ke Karangpanjang, di atas bukit itu berdiri megah, Christina Martha Tiahahu. Monumen Pattimura yang didirikan atas prakarsa Pangdam XV/Pattimura Wing Wiryawan itu bertahun bertahun-tahun sampai akhirnya dibangunlah monumen pengganti di Taman Pattimura, sekarang, atas prakarsa Walikota Ambon Jopie Papilaja. Pattimura sudah abadi. Ia ada di nama jalan-jalan utama dari Sabang sampai Merauke. Pattimura menjadi nama SMP Katolik di Ohoi Sathean, Maluku Tenggara. Pattimura menjadi nama universitas negeri terbesar di Maluku. Kodam XVI juga menyandang nama Pattimura. Thomas Matulessy dan Pattimura adalah dua nama teramat populer. Saya mendengar hampir seluruh kisah sejarah asal-usul, menghormati semua versi, dan tidak beniat mengadili versi manapun. Sekaligus juga sedih, sebab kontradiksi sejarah Pattimura begitu permanen. Tidak banyak orang menulis sejarah Pattimura, tetapi terlalu banyak orang memperdebatkannya secara “ahli”. Saya hanya tahu, di belakang sejarah dan kenangan, ada mitos dan dongeng. Saya masih tetap menunggu riset ilmiah yang sudah direkomendasikan Prof. Mus Hulisellan dkk dalam seminar tahun 1993. Sudah 25 tahun menunggu, itu kecil. Saya masih tetap menunggu. Sambil menunggu, layaklah saya mengajukan pertanyaan yang juga sudah sering diajukan sangat banyak orang, baik sejarahwan maupun kaum awam. “Di mana makam Thomas Matulessy dkk? Setelah digantung mati, di mana mereka dikuburkan? Demikian halnya, ketika keluarga Residen van den Berg terbunuh, di mana makam mereka? Saya hendak ke sana. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar