Thomas Matulessy (foto dok thm) |
Mereka yang mengaku keturunan pahlawan nasional Thomas Matulessy di Hulaliu, bersama tokoh adat dan tokoh agama bergumul di dalam doa. Mereka sedang berjuang mendapat pengakuan Pemerintah Republik Indonesia. Ritual tersebut dilakukan di Baileo Hulaliu Haturesi Rakanyawa, Pulau Haruku Provinsi Maluku, Sabtu (21/4) malam.
Doa dipimpin Ketua Majelis Jemaat GPM Hulaliu Pdt Tupan, dihadiri anggota majelis setempat. Tokoh-tokoh adat berdiri di tiang baileo masing-masing mata rumah. Sebelum doa dipanjatkan, Penjabat Raja Hulaliu lebih dulu memberi kesempatan kepada tokoh yang dikenal di Hulaliu sebagai keturunan keenam Thomas Matulessy, yang juga menyandang nama Thomas Matulessy.
Kepada seluruh hadirin, Thomas menjelaskan tentang perjuangan panjang keluarga Matulessy selama bertahun-tahun, untuk mendapat pengakuan pemerintah. Ia menyadari perjuangan tersebut dilakukan secara sendiri, maka di hadapan seluruh wakil mata rumah di Hulaliu, ia meminta perjuangan keluarga Matulessy menjadi perjuangan segenap warga Negeri Hulaliu.
Selain itu, menurut Thomas, dirinya sebagai keturunan keenam dari Thomas Matulessy, menganggap sudah saatnya marga Matulessy meluruskan sejarah keluarga Matulessy. Alasannya, pada tahun 1951, Gubernur Maluku menetapkan Keluarga Matulessy di luar Hulaliu sebagai ahli waris Thomas Matulessy. Presiden Indonesia kemudian menetapkan Thomas Matulessy sebagai pahlawan nasional dengan ahli waris yang disebut Thomas sebagai tidak tepat.
“Sebelum 15 Mei 2018, kami akan mendaftarkan gugatan ke pengadilan untuk menggugat keputusan gubernur, presiden, dan orang yang mengaku sebagai ahli waris tersebut,” tegas Thomas.
Selain meminta pendeta mendoakan perjuangan di pengadilan, Thomas juga memohon pengampunan atas kesalahan yang dilakukan leluhur pada masa lalu. Disebutnya, akibat kesalahan sejarah tersebut, keturunan Thomas Matulessy di Hulaliu hari ini tidak bisa hidup secara tenang.
TRAGEDI AKHIR 1817 NAN DRAMATIS
Menurut Thomas, setelah peristiwa perebutan Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg bersama istri dan dua anaknya, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengirim Laksamana Buykes ke Ambon. Buykes kemudian tiba di Maluku dan memecat Gubernur Ambon.
Buykes juga hendak membalas dendam atas kematian keluarga Residen van den Berg. Sebab itu ia mengumpulkan raja-raja di Ambon-Lease dan meminta keterangan di mana gerangan keluarga Matulessy.
Menurut Thomas, ada dua hal yang dilakukan Raja Hulaliu Tuankotta pada saat itu. Pertama, raja menjelaskan kepada Buykes bahwa keluarga Matulessy memang berasal dari Hulaliu. Akan tetapi, setelah peristiwa 15 Mei 1817 di Benteng Duurstede, seluruh keluarga Matulessy sudah melarikan diri ke Kariu, dan berganti marga menjadi Salatnaya.
Selain berbohong di hadapan Buykes, Raja Hulaliu meminta sekretarisnya Siahaya secara diam-diam kembali ke Hulaliu untuk menyelamatkan Keluarga Matulessy. Siahaya langsung pulang ke Hulaliu. Ia kemudian mengganti nama Matulessy menjadi Lesiputih. Setelah ganti marga, Siahaya minta orang-orang Matulessy yang sudah jadi Lesiputy pergi bersembunyi di gunung.
Setelah pertemuan tersebut, Buykes kemudian mengirim pasukan ke Kariu. Mereka membantai habis semua orang bermarga Salatnaya sehingga tidak tersisa satupun keturunan di Kariu. Belakangan, beberapa tahun lalu muncul orang bermarga Salatnaya yang hidup di luar Kariu. Mereka adalah keturunan Salatnaya yang lolos dari pembantaian, sebab ketika itu, mereka tidak berada di Kariu.
“Kami Keluarga Matulessy sudah bertemu dengan keturunan Salatnaya dan meminta ampun, sekaligus membuat meja damai,” jelas Thomas.
Setelah sekitar 100 tahun menggunakan marga Lesiputih, menurut Thomas, timbul masalah baru yakni hak-hak Keluarga Matulessy di Kariu. Atas dasar itu, keturunan marga Lesiputih kemudian kembali menggunakan marga asli yakni Matulessy.
“Masih pada zaman Belanda, leluhur kami sudah kembali memakai nama Matulessy, dan membuat silsilah mulai dari sosok Pattimura asal Pulau Seram, terus sampai keturunannya bernama Thomas Matulessy di Hulaliu,” urai Thomas
Menurut Thomas, keputusan kembali memakai nama marga Matulessy pada zaman Belanda, tentu sangatlah berat. Sungguh berisiko tinggi mengaku diri keturunan Thomas Matulessy, yang citranya adalah pemberontak, dan bukan pahlawan seperti masa setelah Indonesia merdeka.
Thomas menyesalkan tim yang bekerja tahun 1951 yang hanya datang sesaat ke Saparua lalu kembali memberi masukan kepada Gubernur Maluku yang saat itu dijabat Mr. J. Latuharhary. Penyesalan itu sempat dilontarkan Thomas dalam Seminar Nasional Sejarah Pattimura tahun 1993 di Ambon. Sejarahwan O. Nanulaitta sempat “memarahi” Thomas, mengapa dokumen silsilah Pattimura sampai ke Thomas Matulessy dan keturunan yang hidup di Hulaliu, tidak diserahkan kepada tim 1951. Thomas mengaku, tim itu tidak pernah datang ke Hulaliu.
Seminar tahun 1993 merekomendasikan perlunya penelitian sejarah asal-usul Thomas Matulessy secara menyeluruh, yang difasilitasi pemerintah. Thomas mengaku, dirinya menunggu sejak 1993 sampai sekarang sudah 25 tahun, penelitian tersebut tidak pernah diselenggarakan.
“Kalau penelitian itu diselenggarakan, maka saya akan menyerahkan silsilah Thomas Matulessy kepada tim, disertai bukti-bukti fisik dan situs lain. Akan tetapi sudah 25 tahun, penelitian itu tak pernah ada. Sebab itu, terpaksa kami gugat di pengadilan, sebelum Hari Pattimura 25 Mei 2018,” papar Thomas. (Rudi Fofid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar