Oleh Rudi Hartono
Selama proses Pilkada berlangsung (khususnya Maluku), banyak pemberitaan di berbagai media selalu menyoal bagaimana menciptakan pilkada berkeadaban, berintegritas, transparan dan jujur.
Akan tetapi, tidak satu pun media mempersoalkan hal-hal yang bersifat substansial terkait siapa yang akan diuntungkan dalam pilkada. Sebab itu, saya mencoba untuk menganalisis hal tersebut, khususnya dalam konteks Pilkada Maluku 2018.
Dalam Pilkada Maluku 2018 yang sedang berlangsung, ada beberapa poin menarik yang perlu difahami bersama. Sebab ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pasca Orde Baru, politik Indonesia mengalami transformasi secara fundamental dari yang tadinya tertutup, kini menjadi lebih terbuka.
Tingkat partisipasi masyarakat menandakan tingkat kesadaran politik. Akan tetapi, hendaknya kita perlu memahami secara substansial partisipasi masyarakat. Dalam artian bahwa apakah partisipasi tersebut dilatari oleh pilihan ideologis atau justru pilihan transaksional semata.
Louis Althuser, menyebut “Manusia secara esensial adalah makhluk Ideologis”. Oleh karena manusia merupakan makhluk ideologis, maka substansi dari hidup adalah perjuangan. Perjuangan merujuk pada apa yang hendak ia yakini dan itu telah menjadi pandangan dunia yang harus diwujudkan.
Sebut saja perjuangan tersebut mengarah pada menciptakan kesejahteraan dan membangun tatanan hidup yang lebih baik (Good Life). Untuk memahami, dalam konteks Pilkada Maluku 2018, dengan jelas saya ingin menggunakan konsep presentasi dan representasi yang dikemukakan oleh Alan Badiou.
Presentasi merupakan suatu modus kehadiran langsung pada situasi. Sedangkan representasi merupakan modus kehadiran tak langsung dalam sebuah situasi. Dalam pandangan Badiou, situasi sama halnya dengan ontologi. Disini, relasi keanggotaan merupakan relasi presentasi, sedangkan yang dimaksud dengan representasi merupakan suatu relasi ketercantuman.
Artinya bahwa, rakyat dan elit politik dapat dikatakan sebagai presentasi, sedangkan posisi partai politik dan institusi pemerintahan (Eksekutif, legislatif) merupakan representasi. Sebab kepentingan rakyat dalam konteks ini sudah terwakilkan.
Bila konsep tersebut kita lihat dalam realitas politik, maka kita akan melihat terdapat kontradiksi antara presentasi (massa/ rakyat) dengan representasi (Institusi politik). Dimana rakyat dalam proses perjuangan politik berlangsung, justru mengambil posisi ekstra-politis.
Padahal kebenaran dalam proses politik berlangsung hanya mungkin ketika rakyat mengambil posisi intra-politis. Sebab posisi intra-politis, menandakan bahwa rakyat tidak ditempatkan sebagai subjek pasif, melainkan subjek aktif yang memungkinkan keterlibatan langsung dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah dengan sistem politik yang terbuka saat ini, rakyat sudah hadir dalam situasi politik–Pilkada Maluku 2018 ?. pertanyaan ini setidaknya menimbulkan dua jawaban, yakni: pertama, rakyat sudah hadir dalam situasi politik yang ditandai dengan “partisipasi” dan kedua, rakyat belum hadir dalam situasi politik yang ditandai oleh kelompok “golongan putih” (Golput).
Agar tidak menimbulkan ambiguitas, maka kita perlu mendudukkan persoalan ini ke dalam persoalan ideologis dan transaksional. Artinya antara partisipasi dan golput harus dilihat dalam konteks pilihan ideologis atau transaksional. Hanya dengan demikian kita dapat menjawab apa yang menjadi pertanyaan fundamental dalam tulisan ini, yakni: siapa yang diuntungkan ?.
Pilkada Sebagai Arena Perjuangan
Menurut Martin Suryajaya (2014) Politik merupakan soal penentuan posisi dan berani meresikokan diri demi posisi tersebut. Maka disini jelas penentuan posisi rakyat dalam menentukan pilihannya terhadap calon tertentu akan syarat dengan risiko-risiko dikemudian hari. Pilihan yang salah akan menghantarkan seseorang masuk ke dalam jurang penindasan. Sedangkan pilihan yang tepat akan membuat seseorang bisah merubah nasibnya menjadi lebih baik. Ini erat kaitannya dengan soal menjaga ideologi atau menggadaikan ideologi.
Ideologi selalu menawarkan posisi terhadap subjek politik. Ketika ada orang yang berpegang teguh pada ideologi yang dia yakini, namun orang yang memenangkan kontestasi pilkada tidak seideologi dengannya maka menjadi jelas posisi dia akan teralienasi dan tertindas. Namun bila seseorang rela menggadaikan ideologi pada salah satu pasangan calon (paslon) yang berkontestasi, dan paslon tersebut menang dalam kontestasi maka posisi dia dalam hal ini masuk dalam golongan elit.
Meskipun mereka yang menggadaikan ideologi telah menang dalam Pilkada, bukan berarti mereka adalah pihak yang paling diuntungkan. Justru posisi dia semakin dekat dengan penindasan. Dengan lain kata, ia telah membuka ruang agar penindasan beroperasi secara sempurna pada dirinya. Inilah konsekuensi logis dalam politik Indonesia saat ini, baik itu nasional maupun lokal. Sebab dalam hal ini ia hidup dalam suatu kemegahan jabatan dan lain sebagainya, namun pada dasarnya dia bukanlah aktor utama yang memegang kekuasaan. lantas siapa yang paling diuntungkan ?.
Bila kita melihat Demokrasi secara normatif, maka rakyat merupakan aktor dominan yang memegang saham. Akan tetapi di era reformasi kita tengah hidup dalam sistem “Demokrasi oligarki” yang artinya pemegang saham terbesar adalah oligark yang terepresentasikan oleh partai politik.
Istilah Demokrasi oligarki, oleh Yuki Fukuoka (2013), merujuk pada suatu tatanan demokrasi dimana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil.
Koalisi disini bukan antara rakyat dengan elit politik, melainkan koalisi antar elit dengan oligark. Hal ini dapat kita lihat dalam kedudukan partai yang diperkuat oleh sistem koalisi. Artinya bahwa setiap paslon yang akan bertarung dalam arena pilkada, merupakan orang-orang yang sudah digodok melalui mekanisme yang ditentukan oleh oligark dan elit itu sendiri.
Rakyat dalam konteks ini hanya tahu untuk memilih – entah itu mereka pilih berdasarkan ideologi atau transaksi – kandidat yang ada. Maka dalam hal ini seorang kandidat yang berkontestasi menempatkan Rakyat sebagai pihak kedua, setelah kontrak politik mereka dengan oligark sudah selesai.
Maka menjadi jelas kalau persoalan siapa yang diuntungkan dalam pilkada bukanlah Rakyat, melainkan oligark. dengan kata lain, siapapun kandidat yang memenangkan kontestasi dalam pilkada, pemenangnya tetaplah oligark. Kedudukan yang dominatif oligark dalam panggung politik ditandai oleh Money Politic dan kartel. Terkait bagaimana menjalankan politik uang dan kartel, itu soal strategi. Jika strateginya tidak matang, maka publik akan mengetahui, begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana diktum Althuser, bahwa manusia adalah makhluk ideologis. Maka sejatinya pilkada tidak dilihat sebagai persoalan prosedural semata, melainkan pilkada harus di jadikan sebagai arena pertarungan ideologis. Pertarungan ideologis antara rakyat dengan elit, rakyat dengan oligark. Pada titik inilah dalam Pilkada Maluku hendaknya membangun politik gagasan, politik yang berkeadaban dan politik yang berideologis.
Artinya bahwa Rakyat memilih tidak berdasarkan relasi kultur (Ras, agama, dan suku), melainkan pada relasi ideologis. Memilih berdasarkan relasi ideologis, mensyaratkan agar rakyat harus melihat Visi dan Misi, kemudian Trac Rekord serta Integritas dan kredibilitas kandidat. Hanya dengan demikian rakyat bisa mengetahui “kepada siapa kandidat tersebut berpihak”, dan seberapa besar potensi rakyat bisah melakukan intervensi kepadanya sekalipun ia dicalonkan lewat jalur partai ataupun independen.
Penulis : Kader Forum Intelektual Nuhu Evav (FINE) Malang dan Pegiat In-Trans Institute Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar