Sabtu, 28 April 2018

Nafas Muda Aktor Damai Di Ambon Urban Art Walk

Buletinnusa
Band Ikan Asar (foto Rudi Fofid)
Ambon, Malukupost.com - Kafe Kayu Manies di Ambon, sangatlah manis. Pada Jumat (28/4) malam, para muda, musisi, perupa, penyair, dan kelompok-kelompok kreatif berkumpul.  Sebuah pentas bertajuk Urban Art Walk digelar Paparisa Ambon Bergerak. Para muda tiada hentinya mewartakan pesan-pesan damai dengan cara dan gaya nan unik.

Kelompok musik Otoskopi membuka malam dengan mengajak semua orang menyanyikan lagu "Gandong" yang disusun oleh Buce Sapury.  Otoskopi kali ini tampil dengan komposisi trio, yakni Zul Karepesina (vokal/gitar), Aqsha Bahweres (gitar) dan Billy Imuly (bass).  Mereka melantunkan tiga lagu berturut-turut "Kota Kenangan", "Enggo Lari" dan "Peran Bukan Tuhan".

Penyair Maluku Eko Saputra Poceratu tampil penuh pesona. Penyair yang terpilih sebagai The Emerging Writer from the East Indonesia pada Makassar International Writer Festival 2018, membaca puisinya berjudul "Seni Itu Sane: Cinta".

"Seni membuat kita serahim
membungkus kita dalam satu plasenta
mengikat kita dalam satu pusar
di danau ketuban yang sama", begitulah bait pembuka puisinya yang membakar.

Penyair asal Banda Setyawan Samad tampil mistis dengan puisi "Mantra".  Dalam iringan musik liris, ia memulai dengan gaya pasawari.  Meski demikian, senada dengan Eko Saputra Poceratu, diapun membawa pesan damai.

"Sekarang perang telah usai
Ambil dayung, toma perahu
Tanam cengkeh selingi pala
Tiup bia jadi suara
Katong damai dalam budaya
Mena", demikian Setyawan menutup puisinya.

Pentas berlanjut dengan menghadirkan kelompok Band Ikan Asar.  Tanpa Christianto Pattinama, kali ini Ikan Asar naik panggung dengan komposisi Jandri Welson Pattinama (vokal/gitar), Michael Joseph (kajon), Rendy Diasz (bass) dan additional player Ralph Pattinama, putra 

Ikan Asar mengawali pentasnya dengan lagu John Lennon, "Imagine",  disusul  "Penguasa' (Iwan Fals). Lagu kritik "Ambon Manise" garapan Ikan Asar, dipersembahkan paling akhir.  Semua penonton ikut berdendang, sambil diajak merenungkan perilaku buang sampah secara serampangan, membuat Ambon Manise penuh sampah.

Penampil berikut adalah Wirol Haurissa dan Chalvin Papilaya. Keduanya adalah pendiri Bengkel Teater Batu Karang di Kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku.  Wirol pernah meraih medali emas lomba cipta dan baca puisi antar mahasiswa Indonesia Timur.  Sedangkan Chalvin, tahun lalu mengikuti Makassar International Writer Festival 2017. Ia terpilih sebagai salah satu penulis cemerlang The Emerging Writer from the East Indonesia.
Pentas teater oleh Wirol Haurissa dan Chalvin Papilaya  (foto revelino berry)

Duet Wirol dan Chalvin menampilkan pentas teater penuh tanda tanya.  Apa, siapa, di mana, bagaimana, kapan? Dengan mengukur-ukur aneka baju di atas panggung, sambil terus menggugat dengan tanda-tanya. 

"Mungkin ini absurd, tapi saya dan Wirol merasa inilah yang paling sulit.  Apakah kita semua sudah melewati batas segregasi? Ini baju-baju dengan simbol-simbol agama, dan garuda.  Dengan pertanyaan-pertanyaan ini mari bertanya, mengapa kita tidak pergi tidur di Hitu, Hila dan sebagainya," papar Chalvin ketika diminta pelancar acara Mark Ufie, mengenai pesan di balik baju dan tanya-tanya tersebut.

David Yonry Leimena, Setyawan Samad dan Srihandayani Latukau adalah tiga penyair beda usia, beda kampung, agama, tapi mampu menyatu dalam musikalisasi puisi  "Sia-Sia" karya Chairil Anwar. 

Penampilan trio David (gitar/vokal), Setyawan (ukulele) dan Srihandayani (vokal) begitu mewah.  Kemewahan bukan karena menghadirkan sastrawan seabadi Chairil Anwar. Bukan juga karena petikan gitar, ukuele dan harmoni  vokal Srihandayani yang bening. Ketiiganya menjadi simbol perjumpaan orang muda Islam-Kristen yang menawan.

Kolaborasi seniman Islam-Kristen di pentas memang sudah menjadi model unik di Maluku yang mempertontonkan kebersamaan dan harmoni duta-duta damai.  Untuk bisa tampil apik di muka penonton, para seniman muda butuh perjumpaan dan dialog dalam sesi-sesi latihan, hingga adegan minum kopi bersama.

SEGREGASI ITU
Selain para seniman yang naik pentas malam hari,  sebelumnya Urban Art Walk menghadirkan aktor-aktor provokator damai lain yang tadinya tersebar di lima titik Kota Ambon.  Mereka adalah  Yudha Magrib di Lorong Arab dengan interaksi "menuliskan kenangan" dalam tajuk Memory, Erzhal Umamit di Simpang Trikora (Selfie/Friendship), Vivi Tanamal di Air Mata Cina (Berpose memukul tiang listrik/Chaos), Joner Lakburlawal dkk di Lorong Indojaya (Nas/Bakubae), dan Morika Tetelepta di Titik Nol (Main Musik/Harmony).

"Maukah kalian, melintasi batas bersama kami?" Pertanyaan ini diajukan dalam sebuah undangan terbuka di akun facebook, twitter, dan instagram Ambon Art Walk, yang dikelola Komunitas Ambon Bergerak, sebuah komunitas kreatif. 

"Urban Art Walk adalah bentuk intervensi artistik sebagai respon terhadap masalah segregasi yang timbul akibat konflik tahun 1999-2004. Melalui Urban Art Walk, kami mengajak kalian berjalan berkeliling dan menikmati karya-karya visual, instalasi dan musik pada lima lokasi di jantung Kota Ambon, sembari menerobos daerah-daerah yang selama ini enggan dikunjungi. Sejatinya, kami ingin mengajak orang-orang melintasi batas-batas, perasaan takut dan curiga," demikian ajakan pada poster undangan.

Undangan itu ternyata direspon para muda.  Lima kelompok orang muda rela berjalan dalam gerimis menuju lima titik Ambon Art Walk, sebelum akhirnya berpuncak di malam pementasan.

Marvin Lorens dari Paparisa Ambon Bergerak kepada Media Online Maluku Post menyebutkan, Urban Art Walk adalah program kerjasama Paparisa Ambon Bergerak dengan Yayasan Kelola dan didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Denmark untuk Indonesia.

Selama sepuluh tahun terakhir ini, Komunitas Ambon Bergerak telah menggerakkan banyak aksi seni demi kemanusiaan.  Datang ke Paparisa Ambon Bergerak di Lorong Sagu, Ambon, pengunjung akan bertemu dengan seniman-seniman muda yang bergerak secara diam-diam dari lorong ke lorong, kafe ke kafe, kampung ke kampung. Mereka tidak lagi membicarakan perdamaian dalam wacana.  Mereka melakukannya dengan semangat Pattimura.  Merekalah yang mencetuskan diksi-diksi damai: Beta Maluku! (Rudi Fofid/foto Revelino Berry)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar